FILSAFAT ILMU
Ini adalah sedikit dari banyak materi tentang filsafat ilmu. Dan untuk bahasan pertama adalah :
1. Hakikat Ta’aruf
a) Mengenal
b) Bergaul
c) Bersosialisasi
d) Bermasyarakat
e) Interaksi
2. Pengetahuan Filsafat Tentang Kebenaran
Filsafat dalam kesertaannya adalah mencari hakikat kebenaran segala sesuatu yang dapat dipikirkan sebagai obyek fakir termasuk agama dan ilmu atau pengetahuan. Filsafat agama yaitu hasil berfikir manusia bias tentang ajaran agama secara mendalam dan mendasar dan menghasilkan aliran seperti toreqoh atau teologi. Kebenaran agama adalah kebenaran yang mutlak yang tidak perlu di uji atau di buktikan karena sudah pasti kebenarannya. Pada dasarnya agama adalah datang dari Alloh SWT yang berupa wahyu, yang sudah jelas dan pasti kebenarannya. Sedangkan kenaran filsafat adalah kebenaran kodrati dari hasil usaha perenungan yang mendalam atau mendasar mengenai sesuatu. Karena kebenaran filsafat itu datangnya dari usaha perenungan yang di lakukan oleh manusia dan juga sumber kenanarannya tidak sempurna maka kebenaran itu bersifat nisbi ( sementara atau relative). Namun ilmu social kebenarannya bersifat mayoritas dan perbedaan merupakan pengecualian. Karena ilmu social didasari filsafat rasionalisme, filsafat pragmatis, dan filsafat humanisme dengan menguji kebenaran ilmu dengan cara analisis rasionalisme untuk mengancu pada kemanfaatan untuk masa sekarang atau masa depan.
Filsafat adalah usaha perenungan dari seseorang mengenai sesuatu, kebenaran atau kesalahan dalam berfilsafat akan di jawab oleh waktu atau massa, karena dalam berfilsafat seseorang atau beberapa orang dapat merenungkan atau mamikirkan suatu hal yang sama, jadi meskipun obyek yang di kajinya sama tapi dalam berfilsafat nantinya hasil dari berfikir atau kesimpulannya akan berbeda. Kita tidak perlu kaget atau terkejut ketika seseorang menilai filsafat itu benar ataupun salah karena akal sehat dari masing-masing orang itu berbeda. Sebenarnnya kebenaran filsafat bukan kebenaran sektoral, factual, dan bukan pula kebenaran empiris, tapi kebenaran filsafat yaitu benar demi pikiran sehat, bukan karena kebenaran ilmu yang benar karena bukti dan bukan pula kebenaran agama yang benar karena keimanan. Kebanaran filsafat bersifat a-priory yang diterima kebenarannya melalui proses berfikir rasional yang bersifat mendalam dan mendasar tanpa dibuktikan secara empiris.
Filsafat merupakan Ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakekat kebenaran segala sesuatu, dengan bantuan filsafat manusia berusaha menangkap hakekat dan hikmah dari pemikiran realitas dan kejadian, karena filsafat mengantarkan manusia untuk lebih jernih, bijaksana dalam berfikir, bersikap, berkata, berbuat dan mengambil kesimpulan. Karena filsafat adalah master caintrum yang berarti induk pengetahuan.
3. Kebenaran Ilmu
S. Hornby mendefinisikan ilmu sebagai susunan pengetahuan dari penelitian dan percobaan yang bersumber dari fakta-fakta.Kebenaran ilmu adalah hasil dari usaha berfikir manusia dan menyelidiki tentang pengetahuan dan keilmuan yang menghasilkan kebenaran nisbi yang selalu dapat berkembang dan berubah. Ilmu berawal dari golongan rasa ingin tahu manusia yang sangat besar untuk tahu tentang sesuatu yang menghasilkan pengetahuan (knowledge ) yakni segala sesuatu yang diketahui manusia demi kesadaran manusiawinya. Kebenaran ilmu bersifat apostiory karena harus di uji atau dapat dibuktikan kebenarannya. Contoh ; ilmu eksakta dibuktikan dengan angka. Berfikir pada hakikatnya merupakan kebebasan manusia yang sejati karena tidak dibatasi oleh siapaun tapi dapat berkembang menjadi dunia khayal dan itu juga merupakan kegiatan mental dan prosesnya bersifat abstrak dengan lambing-lambang abstrak mengenai suatu obyek..contohnya adalah permainan catur, dalam bermain catur anda di tuntut untuk berfikir sekeras mungkin agar dapat mengalahkan lawan dengan berbagai langkah, pada saat itu otak akan bekerja dan berfikir lebih jauh untuk mencari strategi ataupun membaca strategi lawan agar kita dapat memenangkan permainan.
KUMPULAN MAKALAH TARBIYAH
Kamis, 26 Mei 2011
Kamis, 14 April 2011
ZAKAT
A. Pengertian Zakat
Zakat menurut loghat artinya suci dan subur. Sedangkan menurut istilah syara’ yaitu mengeluarkan sebagian dari harta benda atas perintah Allah SWT, sebagai shodaqh wajib kepada mereka yang telah ditetapkan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam.
Mengeluarkan zakat hukumnya wajib bagi tiap-tiap muslim yang mempunyai harta benda menurut ketentuan yagn telah ditentukan oleh hukum Islam. Orang yang mengingkari wajibnya zakat di hukum kafir.
B. Harta Benda Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
1. Zakat Emas, Perak dan Mata Uang
Syarat-syarat wajib zakat emas dan perak sebagai berikut :
Milik orang islam
Yang memiliki adalah orang merdeka
Milik penuh (dimiliki dan menjadi hak penuh)
Sampai nishabnya
Genap satu tahun
Nishab dan zakat emas
Nishab emas bersih ialah 20 dirham (mitsqal) sama dengan 12 ½ pound sterling (± 96 gram). Zakatnya 2 ½ % atau seperempat puluhan.
Nishab dan zakat perak
Nishab perak bersih 200 dirham sama dengan 672 gram. Zakatnya 2 ½ % apabila dimiliki cukup satu tahun.
Nishab dan zakat uang
Peredaran uang pada dasarnya berstandar emas, karena peredaran uang itu berdasar emas maka nishab dan zakatnya 21/2 % atau sepermpat puluh.
2. Zakat Harta Perniagaan
Syarat wajib zakat perniagaan ialah :
Milik orang islam
Yang memiliki adalah orang merdeka
Milik penuh (dimiliki dan menjadi hak penuh)
Sampai nishabnya
Genap satu tahun
Setiap tahun pedagang harus membuat neraca atau perhitungan harta benda dagangannya. Apabila sudah cukup senishab maka wajiblah dikeluarkan zakatnya seperti zakat emas yaitu 2 ½%.
3. Zakat Binatang Ternak
Binatang ternak yang wajib dizakati yaitu Unta, Lembu dan Kerbau, Kambing dan Biri-biri.
Syarat-syarat wajibnya zakat binatang ternak sebagai berikut :
Milik orang islam
Yang memiliki adalah orang merdeka
Milik sendiri
Sampai nishabnya
Genap satu tahun
Makannnya dengan pengembala, bukan dengan rumput belian
Binatang itu bukan digunakan untuk bekerja.
Nishab dan zakat unta
Orang memiliki unta 5 ekor ke atas wajib dikeluarkan zakatnya. Tentang pengeluaran zakat ini di atur sebagai berikut :
5 ekor unta zakatnya 1 ekor kambing.
10 ekor unta zakatnya 2 ekor kambing.
15 ekor unta zakatnya 3 ekor kambing.
20 ekor unta zakatnya 4 ekor kambing.
Nishab dan zakat lembu/kerbau
Orang yagn memiliki lembu / kerbau 30 ekor ke atas wajib mengeluarkan zakatnya, sebagi berikut :
30 – 39 lembu/kerbau zakatnya 1 ekor anak sapi/kerbau (ta-bi’).
40 – 59 lembu/kerbau zakatnya 1 ekor sapi/kerbau betina yang berumur 2 tahun (mussinah).
60 – 69 lembu/kerbau zakatnya 2 ekor anak sapi (ta-bi’).
70 – 79 lembu/kerbau zakatnya 1 ekor anak sapi / kerbau dan 1 ekor mussinah.
80 – 89 lembu/kerbau zakatnya 2 ekor mussinah.
90 – 99 lembu/kerbau zakatnya 3 ekor ta-bi’.
100-109 lembu/kerbau zakatnya 2 ekor ta-bi’ dan 1 ekor mussinah.
Nishab dan zakat kambing
Orang memiliki kambing 40 ekor wajib mengeluarkan zakatnya, sebagai berikut :
40 – 120 ekor kambing zakatnya 1 ekor.
121 – 200 ekor kambing zakatnya 2 ekor.
201 – 300 ekor kambing zakatnya 3 ekor.
301 – 400 ekor kambing zakatnya 4 ekor.
401 – 500 ekor kambing zakatnya 5 ekor.
4. Zakat Hasil Bumi
Hasil bumi yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu yang dapat dijadikan makanan pokok, seperti padi, jagung, gandum dan sebagainya. Sedangkan buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya ialah gandum sya’ir zabib dan kurma.
Syarat-syarat wajib mengeluarkan zakat hasil bumi sebagai berikut :
Milik orang islam
Yang memiliki adalah orang merdeka
Milik sendiri
Sampai nishabnya
Nishab dan zakat hasil bumi
Nishab hasil bumi yang sudah dibersihkan, ialah 5 wasaq, yaitu kira-kira 700 kg. sedangkan yagn masih berkulit nishabnya 10 wasaq = 1.400 kg. zakatnya 10% jika diairi dengan air hujan, air sungai, siraman air yang tidak dengan pembelian(ongkos). Jika diairi dengan air pembelian maka zakatnya 5%.
5. Zakat Barang Tambang dan Barang Temuan
Hasil tambang yagn wajib dikeluarkan zakatnya ialah emas dan perak yang diperoleh dari hasil pertambangan.
Rikaz ialah harta benda orang-orang purbakala yang berharga yang diketemukan oleh orang-orang pada masa sekarang, wajib dikeluarkan zakatnya.
Syarat-syaratny mengeluarkan zakat rikaz :
Milik orang islam
Yang memiliki adalah orang merdeka
Milik sendiri
Sampai nishabnya
Nishab dan zakat barang tambang dan barang temuan
Nishab barang-barang tambang dan harta temu-temuan, dengan nishab emas dan perak, yakni 20 mitsqal = 96 gram untuk emas dan 200 dirham (672 gram) untuk perak. Zakatnya masing-masing 2 ½% atau seperempat puluh.
C. Zakat Fitrah
Zakat fitrah ialah zakat pribadi yang harus dikeluarkan pada hari raya fitrah. Zakat fitrah untuk tia-tiap jiwa 1 sha = 2,305 kg (dibulatkan menjadi 21/2 kg) dari beras atau lainnya yang menjadi makanan pokok bagi penduduk negeri. Lebih utama dikeluarkan sebelum sholat Idul Fitri dan boleh juga dikeluarkan semenjak permulaan bulan ramadhan.
Orang yang berhak menerima zakat :
1) Fakir
2) Miskin
3) Amil
4) Muallaf
5) Hamba Sahaya
6) Gharim
7) Sabilillah
8) Musafir
D. Cara Pementasan Kemiskinan
Caranya yaitu kita memberi zakat kepada orang yang tidak mampu berupa uang atu modal untuk usaha supaya mereka yang kurang mampu mempunyai penghasilan yang tetap dan merubah hidupnya dari yang sebelumnya kekurangan menjadi lebih baik dan maju.
DAFTAR PUSTAKA
Fiqih Islam Lengkap Karangan Drs. H. Moh. Rifa’i.
A. Pengertian Zakat
Zakat menurut loghat artinya suci dan subur. Sedangkan menurut istilah syara’ yaitu mengeluarkan sebagian dari harta benda atas perintah Allah SWT, sebagai shodaqh wajib kepada mereka yang telah ditetapkan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam.
Mengeluarkan zakat hukumnya wajib bagi tiap-tiap muslim yang mempunyai harta benda menurut ketentuan yagn telah ditentukan oleh hukum Islam. Orang yang mengingkari wajibnya zakat di hukum kafir.
B. Harta Benda Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
1. Zakat Emas, Perak dan Mata Uang
Syarat-syarat wajib zakat emas dan perak sebagai berikut :
Milik orang islam
Yang memiliki adalah orang merdeka
Milik penuh (dimiliki dan menjadi hak penuh)
Sampai nishabnya
Genap satu tahun
Nishab dan zakat emas
Nishab emas bersih ialah 20 dirham (mitsqal) sama dengan 12 ½ pound sterling (± 96 gram). Zakatnya 2 ½ % atau seperempat puluhan.
Nishab dan zakat perak
Nishab perak bersih 200 dirham sama dengan 672 gram. Zakatnya 2 ½ % apabila dimiliki cukup satu tahun.
Nishab dan zakat uang
Peredaran uang pada dasarnya berstandar emas, karena peredaran uang itu berdasar emas maka nishab dan zakatnya 21/2 % atau sepermpat puluh.
2. Zakat Harta Perniagaan
Syarat wajib zakat perniagaan ialah :
Milik orang islam
Yang memiliki adalah orang merdeka
Milik penuh (dimiliki dan menjadi hak penuh)
Sampai nishabnya
Genap satu tahun
Setiap tahun pedagang harus membuat neraca atau perhitungan harta benda dagangannya. Apabila sudah cukup senishab maka wajiblah dikeluarkan zakatnya seperti zakat emas yaitu 2 ½%.
3. Zakat Binatang Ternak
Binatang ternak yang wajib dizakati yaitu Unta, Lembu dan Kerbau, Kambing dan Biri-biri.
Syarat-syarat wajibnya zakat binatang ternak sebagai berikut :
Milik orang islam
Yang memiliki adalah orang merdeka
Milik sendiri
Sampai nishabnya
Genap satu tahun
Makannnya dengan pengembala, bukan dengan rumput belian
Binatang itu bukan digunakan untuk bekerja.
Nishab dan zakat unta
Orang memiliki unta 5 ekor ke atas wajib dikeluarkan zakatnya. Tentang pengeluaran zakat ini di atur sebagai berikut :
5 ekor unta zakatnya 1 ekor kambing.
10 ekor unta zakatnya 2 ekor kambing.
15 ekor unta zakatnya 3 ekor kambing.
20 ekor unta zakatnya 4 ekor kambing.
Nishab dan zakat lembu/kerbau
Orang yagn memiliki lembu / kerbau 30 ekor ke atas wajib mengeluarkan zakatnya, sebagi berikut :
30 – 39 lembu/kerbau zakatnya 1 ekor anak sapi/kerbau (ta-bi’).
40 – 59 lembu/kerbau zakatnya 1 ekor sapi/kerbau betina yang berumur 2 tahun (mussinah).
60 – 69 lembu/kerbau zakatnya 2 ekor anak sapi (ta-bi’).
70 – 79 lembu/kerbau zakatnya 1 ekor anak sapi / kerbau dan 1 ekor mussinah.
80 – 89 lembu/kerbau zakatnya 2 ekor mussinah.
90 – 99 lembu/kerbau zakatnya 3 ekor ta-bi’.
100-109 lembu/kerbau zakatnya 2 ekor ta-bi’ dan 1 ekor mussinah.
Nishab dan zakat kambing
Orang memiliki kambing 40 ekor wajib mengeluarkan zakatnya, sebagai berikut :
40 – 120 ekor kambing zakatnya 1 ekor.
121 – 200 ekor kambing zakatnya 2 ekor.
201 – 300 ekor kambing zakatnya 3 ekor.
301 – 400 ekor kambing zakatnya 4 ekor.
401 – 500 ekor kambing zakatnya 5 ekor.
4. Zakat Hasil Bumi
Hasil bumi yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu yang dapat dijadikan makanan pokok, seperti padi, jagung, gandum dan sebagainya. Sedangkan buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya ialah gandum sya’ir zabib dan kurma.
Syarat-syarat wajib mengeluarkan zakat hasil bumi sebagai berikut :
Milik orang islam
Yang memiliki adalah orang merdeka
Milik sendiri
Sampai nishabnya
Nishab dan zakat hasil bumi
Nishab hasil bumi yang sudah dibersihkan, ialah 5 wasaq, yaitu kira-kira 700 kg. sedangkan yagn masih berkulit nishabnya 10 wasaq = 1.400 kg. zakatnya 10% jika diairi dengan air hujan, air sungai, siraman air yang tidak dengan pembelian(ongkos). Jika diairi dengan air pembelian maka zakatnya 5%.
5. Zakat Barang Tambang dan Barang Temuan
Hasil tambang yagn wajib dikeluarkan zakatnya ialah emas dan perak yang diperoleh dari hasil pertambangan.
Rikaz ialah harta benda orang-orang purbakala yang berharga yang diketemukan oleh orang-orang pada masa sekarang, wajib dikeluarkan zakatnya.
Syarat-syaratny mengeluarkan zakat rikaz :
Milik orang islam
Yang memiliki adalah orang merdeka
Milik sendiri
Sampai nishabnya
Nishab dan zakat barang tambang dan barang temuan
Nishab barang-barang tambang dan harta temu-temuan, dengan nishab emas dan perak, yakni 20 mitsqal = 96 gram untuk emas dan 200 dirham (672 gram) untuk perak. Zakatnya masing-masing 2 ½% atau seperempat puluh.
C. Zakat Fitrah
Zakat fitrah ialah zakat pribadi yang harus dikeluarkan pada hari raya fitrah. Zakat fitrah untuk tia-tiap jiwa 1 sha = 2,305 kg (dibulatkan menjadi 21/2 kg) dari beras atau lainnya yang menjadi makanan pokok bagi penduduk negeri. Lebih utama dikeluarkan sebelum sholat Idul Fitri dan boleh juga dikeluarkan semenjak permulaan bulan ramadhan.
Orang yang berhak menerima zakat :
1) Fakir
2) Miskin
3) Amil
4) Muallaf
5) Hamba Sahaya
6) Gharim
7) Sabilillah
8) Musafir
D. Cara Pementasan Kemiskinan
Caranya yaitu kita memberi zakat kepada orang yang tidak mampu berupa uang atu modal untuk usaha supaya mereka yang kurang mampu mempunyai penghasilan yang tetap dan merubah hidupnya dari yang sebelumnya kekurangan menjadi lebih baik dan maju.
DAFTAR PUSTAKA
Fiqih Islam Lengkap Karangan Drs. H. Moh. Rifa’i.
HAK ASASI MANUSIA (CIVIC EDUCATION )
PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA
Hak-hak asasi manusia adalah ha-hak dasar yang dinawa sejak lahir dan melekat dalam potensinya sebagai makhluk dan wakil tuhan.Miriam budiardjo menegaskan bahwa hak-hak asasi manusia adalah sebagai hak yabg dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat.
Manusia yang memahami tentang hak-hak dasarnya,berarti memiliki nilai lebih dibandingkan dengan yang lain yang tidak menyadari akan potensi dan hak-hak dasar kamanusiaan, sedangkan nilai dasar itu adalah nilai moral yang setiap tindakannya harus bias di pertanggung jawabkan, baik di depan manusia atau penciptaNya. Atau, boleh di tegaskan dengan ungkapan bahwa nilai seorang pribadi adalah sama dengan nilai kemanusiaan universal, sebagaimana nilai kemanusiaan universal adalah sama nilainya dengan nilai kosmos seluruh alam semesta.
Secara definitif, hak merupakan unsur normative yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluangbagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Menurut James W Nickel, hak mempunyai unsur-unsur :
1. pemilik hak
2. ruang lingkup penerapan hak
3. pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
Ketiga unsur ini menyatu dalam pengertian dasar dan hak. Dengan demikian, hak merupakan unsur normative yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapanya berada dalam ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi
Semua hak asasi manusia adalah universal, tak terbagi, interdependen, dan saling terkait.pendidikan adalah alat yang paling mangkus untuk pengembangan nilai-nilai yang berhubungan dengan hak asasi manusia.
Pendidikan hak asasi manusia haruslah mengembangkan kemampuan untuk menilai kebebasan pemikiran, kata hati, dan keyakinan, kemampuan untuk menialai kesamaan, keadlian dan cinta, dan suatu kempuan untuk mengasuh dan melindungi hak-hak anak, kaum wanita, kaum pekerja, minoritas etnik, kelompok-kelompok yang tak beruntung, dan seterusnya.
Istilaha hak-hak asasi manusia ( HAM ) bermula dari barat yang dikenal dengan right of man, menggantikan istilah natural man. Karena istilah right of man di pandang tidak mencangkup right of women, maka oleh Eleaneor Roosevelt dig anti dengan istilah human right, yang dipandang lebih netral dan universal.
HAK ASASI MANUSIA DI BARAT
Di dunia barat, penegakan HAM dimulai sekitar abad XIII, ketika pada tahun 1215 Raja John dari inggris mengeluarkan sebuah piagam yang terkenal dengan nama magna charta atau piagam agung. Piagam ini memuat beberapa hak yang diberikan kepada kaum bangsawan sebagai buah hasiltuntutan mereka sekaligus membuat pembatasan kekuasaan raja.
Sebenarnya, tidak semua orang tahu dari isi piagam tersebut sampai abad ke-17,ternyata isinya berhubungan pula dengan konsep manusia tentang hak-hak asasi dan hak-hak warga Negara. Bukti praktis dan pelaksanaan konsep-konsep tersebut baru bias ditemukan pada akhir abad ke – 18, yaitu dalam proklamasi dan konstitusi Amerika Serikat dan Perancis.
Puncak perkembangan HAM terjadi pada tanggal 10 desember 1948 disahkannya hak-hak asasi manusia sedunia ( universal declaration of human right ) oleh perserikatan bangsa-bangsa, setelah selama dua tahun suatu panitia di bentuk oleh PBB dengan nama komisi hak asasi. Secara rinci, komisi ini merumuskan tentang hak politik, hak ekonomi, hak social, dan sebagainya, yang seluruhnya terdiri dari 30 pasal. Majelis umum PBB menyatakan bahwa deklarasi ini merupakan suatu pelaksanaan umum yang baku bagi semua bangsa dan Negara, yang kemudian di umumkan dan di setujui oleh Resoluso Majelis Umum PBB nomor 217 A ( III ) 10 Desember 1948, yang di dalamnya memuat pertimbangan-pertimbangan, bahwa :
1. Pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semau anggota keluarga kemanusiaan, kaedilan, dan perdamian dunia.
2. Bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-hak asasi manusia tekah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dalam hati umat manuisa dan bahwa terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan agama serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi tertinggi dari rakyat jelata.
3. Hak-hak manusia perlu dilindungi oelh peraturan hokum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terkhir guna menetang kelaliman dan penjajahan.
4. Persahabatan antara Negara-negara perlu di anjurkan.
5. Bangsa-bangsa dari anggota PBB dalam piagam telah menyatakn sekali lagi kepercayaan mereka atas hak-hak asasi manusia, martabat serta penghargaan seseorang, dan hak-hak yang sama bagi laki-laki maupun perempuan dan telah memutuskan akan mengingkatkan kemajuan social dan tingkat penghidupan yang labih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas.
6. Negara-negara anggota telah berjanji akan mencapai perbaikan penghargaan umum terhadap pelaksanaan hak- hak manusia dan kebebasan-kebebasa asas dalam kerja sama dengan PBB
7. Pengertian umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan ini adalah penting sekali untuk pelaksanaan janji ini secara benar.
HAK ASASI MANUSIA DAN IDEOLOGI PANCASILA
Bagi bangsa Indonesia , persoalan hak asasi manusia harus digali dan cari akar-akarnyadalam ideology nasional pancasila, sekalipun disadari bahwa di masyarakat sekarang berkembang sikap-sikap skeptis, bahkan sinis, kepada berbagai usaha indokr-trinasi pancasila, yang disebabkan kenyataan banyaknya kesenjangan antara yang diucapkan secara lisan dengan yang dilakuakn dalam tindakan. Hak dan kewajiban setiap pribadi warga Negara adalah sama dihadapan nilai kefalsafatan Negara. Hak seseorang terhadap yang lain adalah kewajiban orang lain itu, dan kewajiban seseorang terhadap orang lain adalah hak orang bersangkutan.
Pancasila sebagai falsafah dan dasar hidup bermasyarakat,berbangsa dan bernegara, dimana masing-masing silanya merupakan kesatuan yangutuh dan bernuara dari kesadaran dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
HAK ASASI MANUSIA DALAM PERUNDANG -UNDANGAN NASIONAL
Dalam ketatanegaraan Indonesia, pengaturan HAM terdapat dalam perundang-undangan yang dijadikan acuan normative dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam perundang-undangan RI, paling tidak terdapat empat bentuk tertulis yang memuat tentang HAM yakni;
1. Dalam konstitusi ( undang-undang dasar Negara ) selain terdapat dalam UUd hasil amandemen kedua UUD 1945, juga dalam amamandemen I-IV konstitusi RIS dan UUDS 1950.
2. Dalam ketetapan MPR dapat dilihat dalam TAP MPR nomor XVII tahun 1998 tentang pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM dari piagam HAM nasional.
3. Dalam UU pengaturan HAM dalam undang-undang yang pernah dikeluarkan pemerintah RI, antara lain :
a) UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara.
b) UU No. 5 tahun 1998 tentang retifikasi konvensi anti penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
c) UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
d) UU No. 9 tahun 1998 tentang kebeasan menyatakan pendapat.
e) UU No. 11 tahun 1998 tentang amandemen terhadap UU No. 25 tahun 1997 tentang hubungan perbruhan.
f) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
g) UU No. 40 tahun 1999 tentang pers
h) UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM
4. Dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden dan perturan pelaksanaan lainya, missal :
a) Peraturan pemerintah pengganti UU (perpu) No. 1 tahun 1999 tentang pengadilan HAM
b) Kepres No. 181 tahun 1998 tentang pendirian komisi nasional penghapusan kekerasan terhadap wanita.
c) Kepres No. 129 tahun 1998 tentang rencana retifikasi berbagai instrument hak asasi manusai PBB serta tindak lanjutnya.
d) Kongres No. 31 tahun 200 tentang pembentukan pengadilan HAM pada pengadilan Negeri Jakarta pusat, Pengadilan Negeri Surabaya dan pengadilan negeri Makassar
e) Kepres No. 5 tahun 2001 tentang pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc pada pengadilan Negeri Jakarta pusat, yang di ubah dengan kepres No. 96 tahun 2001
f) Kepres No. 81 tahun 1998 tentang komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan.
Hak-hak asasi manusia adalah ha-hak dasar yang dinawa sejak lahir dan melekat dalam potensinya sebagai makhluk dan wakil tuhan.Miriam budiardjo menegaskan bahwa hak-hak asasi manusia adalah sebagai hak yabg dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat.
Manusia yang memahami tentang hak-hak dasarnya,berarti memiliki nilai lebih dibandingkan dengan yang lain yang tidak menyadari akan potensi dan hak-hak dasar kamanusiaan, sedangkan nilai dasar itu adalah nilai moral yang setiap tindakannya harus bias di pertanggung jawabkan, baik di depan manusia atau penciptaNya. Atau, boleh di tegaskan dengan ungkapan bahwa nilai seorang pribadi adalah sama dengan nilai kemanusiaan universal, sebagaimana nilai kemanusiaan universal adalah sama nilainya dengan nilai kosmos seluruh alam semesta.
Secara definitif, hak merupakan unsur normative yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluangbagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Menurut James W Nickel, hak mempunyai unsur-unsur :
1. pemilik hak
2. ruang lingkup penerapan hak
3. pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
Ketiga unsur ini menyatu dalam pengertian dasar dan hak. Dengan demikian, hak merupakan unsur normative yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapanya berada dalam ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi
Semua hak asasi manusia adalah universal, tak terbagi, interdependen, dan saling terkait.pendidikan adalah alat yang paling mangkus untuk pengembangan nilai-nilai yang berhubungan dengan hak asasi manusia.
Pendidikan hak asasi manusia haruslah mengembangkan kemampuan untuk menilai kebebasan pemikiran, kata hati, dan keyakinan, kemampuan untuk menialai kesamaan, keadlian dan cinta, dan suatu kempuan untuk mengasuh dan melindungi hak-hak anak, kaum wanita, kaum pekerja, minoritas etnik, kelompok-kelompok yang tak beruntung, dan seterusnya.
Istilaha hak-hak asasi manusia ( HAM ) bermula dari barat yang dikenal dengan right of man, menggantikan istilah natural man. Karena istilah right of man di pandang tidak mencangkup right of women, maka oleh Eleaneor Roosevelt dig anti dengan istilah human right, yang dipandang lebih netral dan universal.
HAK ASASI MANUSIA DI BARAT
Di dunia barat, penegakan HAM dimulai sekitar abad XIII, ketika pada tahun 1215 Raja John dari inggris mengeluarkan sebuah piagam yang terkenal dengan nama magna charta atau piagam agung. Piagam ini memuat beberapa hak yang diberikan kepada kaum bangsawan sebagai buah hasiltuntutan mereka sekaligus membuat pembatasan kekuasaan raja.
Sebenarnya, tidak semua orang tahu dari isi piagam tersebut sampai abad ke-17,ternyata isinya berhubungan pula dengan konsep manusia tentang hak-hak asasi dan hak-hak warga Negara. Bukti praktis dan pelaksanaan konsep-konsep tersebut baru bias ditemukan pada akhir abad ke – 18, yaitu dalam proklamasi dan konstitusi Amerika Serikat dan Perancis.
Puncak perkembangan HAM terjadi pada tanggal 10 desember 1948 disahkannya hak-hak asasi manusia sedunia ( universal declaration of human right ) oleh perserikatan bangsa-bangsa, setelah selama dua tahun suatu panitia di bentuk oleh PBB dengan nama komisi hak asasi. Secara rinci, komisi ini merumuskan tentang hak politik, hak ekonomi, hak social, dan sebagainya, yang seluruhnya terdiri dari 30 pasal. Majelis umum PBB menyatakan bahwa deklarasi ini merupakan suatu pelaksanaan umum yang baku bagi semua bangsa dan Negara, yang kemudian di umumkan dan di setujui oleh Resoluso Majelis Umum PBB nomor 217 A ( III ) 10 Desember 1948, yang di dalamnya memuat pertimbangan-pertimbangan, bahwa :
1. Pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semau anggota keluarga kemanusiaan, kaedilan, dan perdamian dunia.
2. Bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-hak asasi manusia tekah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dalam hati umat manuisa dan bahwa terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan agama serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi tertinggi dari rakyat jelata.
3. Hak-hak manusia perlu dilindungi oelh peraturan hokum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terkhir guna menetang kelaliman dan penjajahan.
4. Persahabatan antara Negara-negara perlu di anjurkan.
5. Bangsa-bangsa dari anggota PBB dalam piagam telah menyatakn sekali lagi kepercayaan mereka atas hak-hak asasi manusia, martabat serta penghargaan seseorang, dan hak-hak yang sama bagi laki-laki maupun perempuan dan telah memutuskan akan mengingkatkan kemajuan social dan tingkat penghidupan yang labih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas.
6. Negara-negara anggota telah berjanji akan mencapai perbaikan penghargaan umum terhadap pelaksanaan hak- hak manusia dan kebebasan-kebebasa asas dalam kerja sama dengan PBB
7. Pengertian umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan ini adalah penting sekali untuk pelaksanaan janji ini secara benar.
HAK ASASI MANUSIA DAN IDEOLOGI PANCASILA
Bagi bangsa Indonesia , persoalan hak asasi manusia harus digali dan cari akar-akarnyadalam ideology nasional pancasila, sekalipun disadari bahwa di masyarakat sekarang berkembang sikap-sikap skeptis, bahkan sinis, kepada berbagai usaha indokr-trinasi pancasila, yang disebabkan kenyataan banyaknya kesenjangan antara yang diucapkan secara lisan dengan yang dilakuakn dalam tindakan. Hak dan kewajiban setiap pribadi warga Negara adalah sama dihadapan nilai kefalsafatan Negara. Hak seseorang terhadap yang lain adalah kewajiban orang lain itu, dan kewajiban seseorang terhadap orang lain adalah hak orang bersangkutan.
Pancasila sebagai falsafah dan dasar hidup bermasyarakat,berbangsa dan bernegara, dimana masing-masing silanya merupakan kesatuan yangutuh dan bernuara dari kesadaran dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
HAK ASASI MANUSIA DALAM PERUNDANG -UNDANGAN NASIONAL
Dalam ketatanegaraan Indonesia, pengaturan HAM terdapat dalam perundang-undangan yang dijadikan acuan normative dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam perundang-undangan RI, paling tidak terdapat empat bentuk tertulis yang memuat tentang HAM yakni;
1. Dalam konstitusi ( undang-undang dasar Negara ) selain terdapat dalam UUd hasil amandemen kedua UUD 1945, juga dalam amamandemen I-IV konstitusi RIS dan UUDS 1950.
2. Dalam ketetapan MPR dapat dilihat dalam TAP MPR nomor XVII tahun 1998 tentang pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM dari piagam HAM nasional.
3. Dalam UU pengaturan HAM dalam undang-undang yang pernah dikeluarkan pemerintah RI, antara lain :
a) UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara.
b) UU No. 5 tahun 1998 tentang retifikasi konvensi anti penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
c) UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
d) UU No. 9 tahun 1998 tentang kebeasan menyatakan pendapat.
e) UU No. 11 tahun 1998 tentang amandemen terhadap UU No. 25 tahun 1997 tentang hubungan perbruhan.
f) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
g) UU No. 40 tahun 1999 tentang pers
h) UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM
4. Dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden dan perturan pelaksanaan lainya, missal :
a) Peraturan pemerintah pengganti UU (perpu) No. 1 tahun 1999 tentang pengadilan HAM
b) Kepres No. 181 tahun 1998 tentang pendirian komisi nasional penghapusan kekerasan terhadap wanita.
c) Kepres No. 129 tahun 1998 tentang rencana retifikasi berbagai instrument hak asasi manusai PBB serta tindak lanjutnya.
d) Kongres No. 31 tahun 200 tentang pembentukan pengadilan HAM pada pengadilan Negeri Jakarta pusat, Pengadilan Negeri Surabaya dan pengadilan negeri Makassar
e) Kepres No. 5 tahun 2001 tentang pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc pada pengadilan Negeri Jakarta pusat, yang di ubah dengan kepres No. 96 tahun 2001
f) Kepres No. 81 tahun 1998 tentang komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan.
Jumat, 01 April 2011
NEGARA (CIVIC EDUCATION)
A. NEGARA
1. Pengertian Negara
Secara istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), Staat (bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (bahasa Perancis), kata state, staat, etat itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara terminologi, Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah Negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah Negara, yakni adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah) dan adanya pemerintah yang berdaulat.
Menurut Roger H. Soltao, Negara didefinisikan dengan alat (agency) atau wewenang masyarakat. Menurut Haroid. J. Laski negera marupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.
Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberikan kekuasaan memaksa.
2. Tujuan Negara
Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam, antara lain:
a. Memperluas kekuasaan.
b. Menyelenggarakan ketertiban hukum.
c. Mencapai kesejahteraan hukum.
2
3
Menurut Plato tujuan Negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu) dan sebagai makhluk social. Sedangkan menurut Roger H. Soltau tujuan Negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (the freest possible development and creative self-expression of its members).
Dalam Islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan Negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa.
Dalam konteks Negara Indonesia, tujuan Negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
B. BEBERAPA TEORI TENTANG TERBENUTKNYA NEGARA
1. Teori kontrak social (social contract)
Teori ini beranggapan bahwa Negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Beberapa pakar penganut teori kontrak sosial yang menjelaskan teori asal-mula Negara, diantaranya:
a. Thomas Hobbes (1588-1679)
Menurutnya syarat membentuk Negara adalah dengan mengadakan perjanjian bersama individu-individu yang tadinya dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan. Tekhnik perjanjian masyarakat yang dibuat Hobbes sebagai berikut setiap individu mengatakan kepada individu lainnya bahwa “Saya memberikan kekuasaan dan menyerahkan hak memerintah kepada orang ini atau kepada orang-orang yang ada di dalam dewan ini dengan syarat bahwa saya memberikan hak kepadanya dan memberikan keabsahan seluruh tindakan dalam suatu cara tertentu”.
b. John locke (1632-1704)
Dasar kontraktual dan Negara dikemukakan Locke sebagai peringatan bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah mutlak tetapi selalu terbatas, sebab dalam mengadakan perjanjian dengan seseorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka.
4
c. Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
Keadaan alamiah diumapamakannya sebagai keadaan alamiah, hidup individu bebas dan sederajat, semuanya dihasilkan sendiri oleh idividu dan individu itu puas. Menurut “Negara” atau “badan korporatif” dibentuk untuk menyatakan “kemauan umumnya” (general will) dan ditujukan pada kebahagiaan besama. Selain itu Negara juga memperhatikan kepentingan-kepentingan individual (particular interest). Kedaulatannya berada dalam tangan rakyat melalui kemauan umumnya.
2. Teori Ketuhanan
Negara dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin Negara ditunjuk oleh Tuhan Raja dan pemimpin-pemimpin Negara hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak pada siapapun.
3. Teoir kekuatan
Negara yang pertama adalah hasil dominasi dari komunikasi yang kuat terhadap kelompok yang lemah, Negara terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan Negara.
4. Teori Organis
Negara dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, manusia atau binatang individu yang merupakan komponen-komponen Negara dianggap sebagai sel-sel dari makhluk hidup itu. Kehidupan corporal dari Negara dapat disamakan sebagai tulang belulang manusia, undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar) sebagai kepala dan para individu sebagai daging makhluk itu.
5. Toeri Historis
Teori ini menyatakan bahwa lembaga-lambaga sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
C. RELASI NEGARA DAN AGAMA
Pada dasarnya, peran dan fungsi agama sangatlah ditentukan oleh para penganutnya. Pemahaman dan penyikapan para penganut terhadap agama sangat mempengaruhi perjalan dan dinamika agama dalam pergumulannya dengan perkembangan suatu negara. Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep atau paham yang berkembang dianut oleh kebanyakan negara. Paham-paham tersebut adalah:
5
1. Hubungan agama dan Negara menurut paham teokrasi
Negara menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan segala kata kehidupan dalam masyarakat bangsa, Negara di lakukan atas titah Tuhan.
2. Hubungan agama dan Negara menurut paham sekuler
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
3. Hubungan agama dan Negara menurut paham komunis
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai candu masyarakat, dan manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai agama (din) dan Negara (dawlah), agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Beberapa pradigma yang menjelaskan hubungan antara agama dan Negara:
1. Paradigm integralistik
Agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga.
2. Paradigm simbiotik
Antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda. Tetapi saling mebutuhkan oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigm ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari’at).
3. Paradigm sekularistik
Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda antara satu sama lain memiliki dan satu sama lain memiliki garapan bindangnya masing-masing. Sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini. Maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul bersal dari kesepakatan manusia.
6
D. BENTUK-BENTUK NEGARA
Bentuk Negara dalam konsep dan teori modern saat ini terbagi dalam kedua bentuk Negara, yakni Negara kesatuan (unitarisme) dan Negara serikat (federasi).
1. Negara kesatuan
Negara kesatuan merupakan bentuk suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Dengan satu pemerintah yang mengatur seluruh daerah.
Negara kesatuan ini terbagi 2 macam, yaitu:
a. Negara kesatuan dengan system sentralisasi yaitu urusan Negara langsung diatur oleh pemerintah pusat.
b. Negara kesatuan dengan system desentralisasi yakni kepala daerah sebagai pemerintah daerah.
2. Negara serikat
Kekuasaan asli dalam Negara federasi merupakan tugas Negara bagian, karena ia berhubungan dengan rakyatnya, semetara Negara federasi bertugas untuk menjalankan hubungan luar negeri. Pertahanan Negara. Keuangan dan urusan pos.
Selain kedua bentuk Negara tersebut. Bentuk Negara ke dalam tiga kelompok yaitu:
a. Monarki
Negara monarki adalah bentuk Negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai dan diperintah (yang berhak memerintah) oleh satu orang saja.
b. Oligarki
Oligarki ini biasanya diperintah dari kelompok orang yang berasal dari kalangan feudal.
c. Demokrasi
Rakyat memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ghazali, Adeng Muchtar, Civic Education, Pendidikan Kewarganegaraan Prespektif Islam, 2004, Bandung:Benang Merah Press
1. Pengertian Negara
Secara istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), Staat (bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (bahasa Perancis), kata state, staat, etat itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara terminologi, Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah Negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah Negara, yakni adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah) dan adanya pemerintah yang berdaulat.
Menurut Roger H. Soltao, Negara didefinisikan dengan alat (agency) atau wewenang masyarakat. Menurut Haroid. J. Laski negera marupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.
Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberikan kekuasaan memaksa.
2. Tujuan Negara
Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam, antara lain:
a. Memperluas kekuasaan.
b. Menyelenggarakan ketertiban hukum.
c. Mencapai kesejahteraan hukum.
2
3
Menurut Plato tujuan Negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu) dan sebagai makhluk social. Sedangkan menurut Roger H. Soltau tujuan Negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (the freest possible development and creative self-expression of its members).
Dalam Islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan Negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa.
Dalam konteks Negara Indonesia, tujuan Negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
B. BEBERAPA TEORI TENTANG TERBENUTKNYA NEGARA
1. Teori kontrak social (social contract)
Teori ini beranggapan bahwa Negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Beberapa pakar penganut teori kontrak sosial yang menjelaskan teori asal-mula Negara, diantaranya:
a. Thomas Hobbes (1588-1679)
Menurutnya syarat membentuk Negara adalah dengan mengadakan perjanjian bersama individu-individu yang tadinya dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan. Tekhnik perjanjian masyarakat yang dibuat Hobbes sebagai berikut setiap individu mengatakan kepada individu lainnya bahwa “Saya memberikan kekuasaan dan menyerahkan hak memerintah kepada orang ini atau kepada orang-orang yang ada di dalam dewan ini dengan syarat bahwa saya memberikan hak kepadanya dan memberikan keabsahan seluruh tindakan dalam suatu cara tertentu”.
b. John locke (1632-1704)
Dasar kontraktual dan Negara dikemukakan Locke sebagai peringatan bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah mutlak tetapi selalu terbatas, sebab dalam mengadakan perjanjian dengan seseorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka.
4
c. Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
Keadaan alamiah diumapamakannya sebagai keadaan alamiah, hidup individu bebas dan sederajat, semuanya dihasilkan sendiri oleh idividu dan individu itu puas. Menurut “Negara” atau “badan korporatif” dibentuk untuk menyatakan “kemauan umumnya” (general will) dan ditujukan pada kebahagiaan besama. Selain itu Negara juga memperhatikan kepentingan-kepentingan individual (particular interest). Kedaulatannya berada dalam tangan rakyat melalui kemauan umumnya.
2. Teori Ketuhanan
Negara dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin Negara ditunjuk oleh Tuhan Raja dan pemimpin-pemimpin Negara hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak pada siapapun.
3. Teoir kekuatan
Negara yang pertama adalah hasil dominasi dari komunikasi yang kuat terhadap kelompok yang lemah, Negara terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan Negara.
4. Teori Organis
Negara dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, manusia atau binatang individu yang merupakan komponen-komponen Negara dianggap sebagai sel-sel dari makhluk hidup itu. Kehidupan corporal dari Negara dapat disamakan sebagai tulang belulang manusia, undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar) sebagai kepala dan para individu sebagai daging makhluk itu.
5. Toeri Historis
Teori ini menyatakan bahwa lembaga-lambaga sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
C. RELASI NEGARA DAN AGAMA
Pada dasarnya, peran dan fungsi agama sangatlah ditentukan oleh para penganutnya. Pemahaman dan penyikapan para penganut terhadap agama sangat mempengaruhi perjalan dan dinamika agama dalam pergumulannya dengan perkembangan suatu negara. Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep atau paham yang berkembang dianut oleh kebanyakan negara. Paham-paham tersebut adalah:
5
1. Hubungan agama dan Negara menurut paham teokrasi
Negara menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan segala kata kehidupan dalam masyarakat bangsa, Negara di lakukan atas titah Tuhan.
2. Hubungan agama dan Negara menurut paham sekuler
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
3. Hubungan agama dan Negara menurut paham komunis
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai candu masyarakat, dan manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai agama (din) dan Negara (dawlah), agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Beberapa pradigma yang menjelaskan hubungan antara agama dan Negara:
1. Paradigm integralistik
Agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga.
2. Paradigm simbiotik
Antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda. Tetapi saling mebutuhkan oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigm ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari’at).
3. Paradigm sekularistik
Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda antara satu sama lain memiliki dan satu sama lain memiliki garapan bindangnya masing-masing. Sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini. Maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul bersal dari kesepakatan manusia.
6
D. BENTUK-BENTUK NEGARA
Bentuk Negara dalam konsep dan teori modern saat ini terbagi dalam kedua bentuk Negara, yakni Negara kesatuan (unitarisme) dan Negara serikat (federasi).
1. Negara kesatuan
Negara kesatuan merupakan bentuk suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Dengan satu pemerintah yang mengatur seluruh daerah.
Negara kesatuan ini terbagi 2 macam, yaitu:
a. Negara kesatuan dengan system sentralisasi yaitu urusan Negara langsung diatur oleh pemerintah pusat.
b. Negara kesatuan dengan system desentralisasi yakni kepala daerah sebagai pemerintah daerah.
2. Negara serikat
Kekuasaan asli dalam Negara federasi merupakan tugas Negara bagian, karena ia berhubungan dengan rakyatnya, semetara Negara federasi bertugas untuk menjalankan hubungan luar negeri. Pertahanan Negara. Keuangan dan urusan pos.
Selain kedua bentuk Negara tersebut. Bentuk Negara ke dalam tiga kelompok yaitu:
a. Monarki
Negara monarki adalah bentuk Negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai dan diperintah (yang berhak memerintah) oleh satu orang saja.
b. Oligarki
Oligarki ini biasanya diperintah dari kelompok orang yang berasal dari kalangan feudal.
c. Demokrasi
Rakyat memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ghazali, Adeng Muchtar, Civic Education, Pendidikan Kewarganegaraan Prespektif Islam, 2004, Bandung:Benang Merah Press
ULUMUL QURAN MAKKIYAH DAN MADINAH
A. Gambaran Umum Makki Dan Madani
Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi hati masyarakat yang telah terperosok dalam kerusakan aqidah, perundang-undangan dan perilaku. Beban dakwah baru bisa diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan pondasi kua
2
telah dipersiapkan untuk memikul beban dakwah tersebut. Asas perundang-undangan dan aturan sosial baru bisa digariskan setelah hati manusia dibersihkan dari segala kerusakan aqidah dan tujuan dakwah telah ditentukan.
Orang yang membaca Al Qur‟an Karim akan melihat bahwa ayat-ayat Makkiah
mengandung karakteristik yang tidak terkandung di dalam ayat-ayat Madaniah, baik dalam irama, makna dan tutur penyampaiannya meskipun keduanya saling menopang dalam menentukan hukum-hukum dan perundang-undangan.
Pada zaman jahiliyah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mendustakan wahyu dan mengingkari hari akhir sebagaimana kata mereka:
“Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita
mati dan hidup dan yang akan membinasakan kita hanyalah waktu” (Al Jasiyah 24)
Mereka ahli berdebat dengan kata-kata yang pedas dan retorika yang luar biasa, sehingga ayat-ayat Makkiah yang diturunkan di Makkah juga merupakan goncangan yang mencekam di hati mereka, membakar seperti api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi yang sangat tegas dan kuat. Karakteristik ayat ini dapat menghancurkan keyakinan mereka terhadap berhala-berhala pujaan mereka dan mengantarkan mereka kepada agama tauhid.
Setelah tiga belas tahun turunnya ayat-ayat Makki terbentuk masyarakat yang beriman kepada Allah serta aqidahnya telah diuji dengan berbagai cobaan dari orang musyrik pada zaman itu dan ternyata mereka dapat bertahan, maka Allah menurunkan ayat-ayat Madaniah dengan sebelumnya memerintahkan mereka untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka dan sanak saudara mereka untuk berhijrah ke kota Madinah.
Dan jika kita melihat ayat-ayat Madaniah yang panjang, membicarakan hukum islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkorban di jalan Allah, meletakkan kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi antar golongan dan bangsa. Juga menyingkap aib dan isi hati orang-orang munafik serta berdialog dengan para ahli kitab dan membungkam hujjah-hujjah yang mereka kemukakan, inilah ciri umum dari ayat-ayat Madaniah.
B. Perbedaan Makki dan Madani
Sebelum membedakan Makki dan Madani terlebih dahulu kita harus mengetahui
bagaimana para ulama menentukan dan memutuskan bahwa suatu ayat atau surat disebu
Makki dan Madani. Dan untuk mengetahui Makki dan madani para ulama bersandar pada dua
cara utama yaitu:
1.Sima‟i Naqli
Cara ini didasarkan pada riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan
menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi‟in yang mendengar dari para sahabat
bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu tersebut. Cara ini menjadi cara utama para ulama menentukan suatu ayat Al Qur‟an apakan termasuk dalam kategori Makkiah atau Madaniah.
2. Qiyas Ijtihadi
Cara ini didasarkan pada ciri-ciri dari Makki dan Madani, para ulama mengelompokkan ayat-ayat Makki dengan meneliti ciri dari ayat-ayat tersebut meskipun terdapat dalam surat Madani, begitu juga sebaliknya. Dan bila dalam suatu surat terdapat ciri-ciri Makki lebih dominan daripada Madani maka Surat tersebut secara qiyas ijtihadi disebut sebagai Surat Makki, begitu juga sebaliknya.1
Sedikitnya ada empat landasan teori yang dikemukakan oleh para Ulama dalam menentukan kriteria untuk memisahkan bagian yang disebut Makki dan Madani, dan keempat teori tersebut memiliki dasarnya sendiri sebagai berikut:2
1. Dari Tempat Turunnya (Mulãhazhatu Makãnin Nuzul)
Makki adalah ayat atau surat dalam Al Qur‟an yang diturunkan di Makkah dan
sekitarnya, seperti Mina, arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani diturunkan di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara konkrit, sebab ayat-ayat yang turun di perjalanan seperti di Baitul Maqdis atau Tabuk tidak termasuk dalam kedua kategori tempat turunnya sehingga ayat-ayat tersebut tidak dinamakan Makki dan tidak juga Madani.
2. Dari Sasaran Turunnya (Mulãhazhatu Mukhãtabiina Fin Nuzul)
Makki adalah ayat atau surat dalam Al Qur‟an yang seruannya ditujukan untuk
penduduk Makkah dan Madani seruannya ditujukan untuk penduduk Madinah.
Berdasarkan pendapat ini, para ulama yang mendukungnya menklasifikasikan bahwa
ayat Al Qur‟an yang mengandung seruan yã ayyuhan nãs (wahai manusia) adalah
Makki, sedangkan ayat yang mengandung seruan yã ayyuhal ladziina ãmanu (wahai
orang-orang yg beriman) adalah Madani. Namun pada kenyataannya tidak semua ayat
Al Qur‟an didahului dengan kata-kata tersebut.
3. Dari Waktu Turunnya (Mulãhazhatu Zamãnin Nuzul)
1Manna Khalil Al Qattan, Mabahit fi Ulumil Qur‟an (Riyadh: Maktabah Al Ma‟arif)
2H. Abdul Jalal, Prof. DR. HA., Ulumul Qur‟an (Edisi Lengkap), (Surabaya: Dunia ilmu, 2009), 78
Makki adalah ayat atau surat dalam Al Qur‟an yang diturunkan sebelum hijrah
meskipun bukan di kota Makkah dan Madani diturunkan setelah hijrah meskipun
diturunkan di Makkah atau bukan di kota Madinah, misalnya:
“Hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kulengkapi kepadamu
nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagimu” (Al Ma‟idah 3)
Dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Umar RA., dijelaskan bahwa ayat tersebut di atas diturunkan pada malam Arafah hari jum‟at tahun haji Wada‟. Dan pendapat ini lebih baik dari dua pendapat sebelumnya karena lebih memberikan kepastian dan konsistensi.3
Kelebihan dari teori ini menurut para ulama adalah teori yang paling selamat, karena
rumusan teori ini mencakup seluruh isi Al Qur‟an sebab semua surah/ayat dalam Al
Qur‟an kalau tidak turun sebelum hijrah pasti turun setelah hijran. Jadi tidak satupun
surah/ayat Al Qur‟an yang terlepas dari rumusan teori ini.4
4. Dari Isi yang Terkandung (Mulãhazhatu Mã Thadhammant Assurah)
Makki menurut teori ini ialah surah/ayat yang berisi cerita-cerita ummat dan para Nabi
terdahulu, sedang Madani menurut teori ini adalah surah/ayat yang berisi hukum-hukum
hudud, fara‟id dan sebagainya. Dalil yang dijadikan landasan teori ini ialah riwayat
Hisyam dari ayahnya Al Hakim, sebagai berikut:
Setiap surah yang di dalamnya disebutkan hukum-hukum, fara‟id adalah Madaniyah, dan setiap surah yang didalamnya disebutkan kejadian-kejadian masa lalu adalah Makkiyah.
3Manna Khalil Al Qattan, Mabãhit fi Ulumil Qur‟an, (Riyadh: Maktabah Al Ma‟arif, 1996)
4H. Abdul Jalal, Prof. DR. HA.,Ulumul Qur‟an (Edisi Lengkap), (Surabaya: Dunia ilmu, 2009), 85
5
Kelebihan dari teori ini adalah kriterianya jelas, lebih mudah untuk dikenali sebab hanya dengan melihat tanda-tanda tertentu dalam surah/ayat sehingga lebih gampang untuk membedakannya.5
C. Ciri Khas Makki dan Madani
Dengan menamakan sebuah surah itu Makkiah atau Madaniah tidak berarti bahwa surat tersebut seluruhnya Makkiah atau Madaniah, sebab di dalam surat Makkiah terkadang terdapat ayat-ayat Madaniah, dan di dalam surah Madaniah pun terkadang terdapat ayat-ayat Makkiah. Dengan demikian, penamaan surah itu Makkiah atau Madaniah adalah menurut sebagian besar ayat-ayat yang terkandung di dalamnya. Karena itu, dalam penamaan surah sering disebutkan bahwa surah itu Makkiah kecuali ayat "anu" adalah Madaniah; dan surah ini Madaniah kecuali ayat "anu" adalah Makkiah, misalnya surah Al Anfal itu Madaniah, tetapi banyak ulama mengecualikan ayat 30 yang dianggap sebagai ayat Makkiah.6
“Dan ketika orang kafir (Quraisy) membuat makar terhadapmu untuk
memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu, mereka berbuat makar akan tetapi Allah menggagalkan makar mereka, sesungguhnya Allah sebaik-baik pembalas makar” (Al Anfal 30)
Para ulama telah meneliti surat-surat Makki dan Madani, dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis dari keduanya yang menerangkan ciri-ciri khas, gaya bahasa, dan persoalan- persoalan yang dibicarakannya. Dari situ para ulama dapat menyimpulkan kaidah-kaidah dari ciri khas tersebut, yaitu:
1. Ketentuan Makki dan ciri khas temanya.
Dari segi Ketentuan sbb:
a.Setiap yang di dalamnya mengandung “sajdah” maka surat tersebut adalah bagian
dari Makki.
b. Setiap surat yang mengandung lafalk al la, berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat
dalam separuh terakhir dari Al qur‟an, dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali
dalam lima belas surat.
c. Setiap surat yang mengandung lafal yã ayyuhan nãs dan tidak mengandung lafaly ã
ayyuhal lazina ãmanu berarti Makki, kecuali surat Al hajj yang pada akhir surat
5Ibid. , 87.
6 Al Wahidy, Asbabu Nuzul Al Qur‟an, Al Mauqi‟ Al Waraq
6
terdapat lafal ya ayyuhal lazina ãmanurka‟u wasjudu, namun sebagian besar ulama
berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makkiah.
d. Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makki,
kecuali surat Al Baqarah.
e. Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan seperti Alif Lãm Mim, Alif
Lãm Rã, Hã Mim dan lainnya adalah Makki, kecuali surat Al Baqarah dan surat Ali
imran dan surat Al ra‟d masih diperselisihkan.
sedangkan dari segi tema dan gaya bahasa dapat diringkas sebagai berikut:
a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, hari kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan azabnya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti yang rasional dan ayat-ayat kauniyah.
b. Peletakan dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlaq mulia yang menjadi terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang-orang musyrik dalam menumpahkan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan bayi perempuan hidup-hidup dan tradisi buruk lainnya.
c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan perintah Allah sebelum mereka.
d. Sebagai hiburan untuk Rasulullah dan para pengikutnya agar mereka tabah dalam menahan cobaan dan hinaan dari orang-orang kafir, dan untuk menambahkan keyakinan mereka bahwa Allah berada di pihak mereka.
e. Suku katanya pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataan singkat ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hari dan maknanyapun meyakinkan dengan diperbuat dengan lafal-lafal sumpah.7
2. Ketentuan Madani dan ciri khas temanya.
Dari segi Ketentuan sbb:
a. Setiap surat yang berisi kewajiban atauh ad (sanksi) adalah Madani.
b. Setiap surat yang di dalamnya disebutkan tentang orang munafiq adalah Madani
kecuali surat Al Ankabut adalah Makki.
c. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan para ahli kitab adalah Madani.
sedangkan dari segi tema dan gaya bahasa dapat diringkas sebagai berikut:
7 Ahmad Von Denver, Ulum Al Qur‟an (United Kingdom: The Islamic Foundation)
7
a.Menjelaskan tata cara ibadah, mu‟amalah,had, kekeluargaan, warisan, jihad, kaidah hukum, masalah perundang-undangan dan hubungan sosial baik di waktu damai maupun saat perang.
b. Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk memeluk agama Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah terdahulu, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah kebenaran datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.
c. Menyingkap perilaku orang-orang munafiq, menganalisis kejiwaan mereka,
membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa mereka berbahaya bagi agama.
d. Suku kata dan ayat-ayatnya panjang dengan gaya bahasa yang memantapkan
ketentuan syari‟at serta menjelaskan tujuan dan sasaran syari‟at tersebut.
D. Faedah Mengetahui Makki dan Madani
Pengetahuan tentang Makki dan Madani banyak faedahnya diantaranya adalah:
1. Sebagai alat bantu dalam menafsirkan Al Qur‟an, sebab mengetahui tempat turunnya suatu ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafaz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal tersebut seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dan mansukh, yakni bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif maka yang datang kemudian merupakan nasikh atas ayat yang terdahulu.
2. Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniah dan Makkiah yang keduanya memenuhi syarat-syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniah tersebut menjadi nasikh bagi ayat Makkiah karena ayat Madaniah datang belakangan setelah ayat Makkiah.
3. Mengambil istimbath dari gaya bahasa Al Qur‟an dalam berdakwah dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah SWT., sebab setiap situasi mempunyai bahasa sendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makki dan
Madani dalam Al Qur‟an memberikan kepada siapa saja yang membaca dan
mempelajarinya sebuah metode penyampaian dakwah ke jalan Allah SWT., sesuai dengan kejiwaan lawan bicara dan menguasai pikiran dan perasaannya dengan penuh kebijaksanaan.
4. Mengetahui sejarah hidup Rasulullah melalui ayat-ayat Al Qur‟an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dan segala peristiwa yang beliau hadapi saat itu, baik pada periode dakwah di Makkah mapun Madinah. Sejak
permulaan turunnya wahyu hingga ayat terakhir, Al Qur‟an adalah sumber pokok bag
8
peri hidup Rasulullah, maka dari itu sejarah dakwah beliau yang diriwayatkan oleh para
ahli sejarah harus sesuai dengan Al Qur‟an.8
E.Hikmah Turunnya Al Qur’an berangsur-angsur
Telah jelas dari pembagian Al Qur‟an menjadi ayat-ayat Makkiah dan Madaniah menunjukkan bahwa Al Qur‟an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur‟an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, diantaranya adalah memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkannya karena Al Qur‟an dibacakan kepada mereka secara bertahap, berdasarkan firman Allah SWT:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: „Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan berupa manfa‟at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya.”(Al Baqarah: 219)
8 Manna Khalil Al Qattan, Mabahit fi Ulumil Qur‟an (Riyadh: Maktabah Al Ma‟ari
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Kemudian yang kedua turun firman Allah „Azza wa Jalla:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (An Nisaa‟: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar pada
keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat. Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah
„Azza wa Jalla:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah
kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu(” (Al
Maa‟idah: 90-91)
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.9
9A l-„Utsaimin, Muhammad bin Shalih,. Bagaimana Kita Memahami Al -Qur‟an, Cahaya Tauhid Press Malang
DAFTAR PUSTAKA
Al Wahidy,. Asbãbu Nuzul Al Qur‟an, Al Mauqi‟ Al Waraq (Maktabah Syameela)
Al-„Utsaimin, Muhammad bin Shalih,. Bagaimana Kita Memahami Al-Qur‟an: edisi Indonesia,
(Malang: Cahaya Tauhid Press)
Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemahnya.
H. Abdul Jalal, Prof. DR. HA., Ulumul Qur‟an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2009)
Manna Khalil Al Qattan, Mabãhit fi Ulumil Qur‟an, (Riyadh: Maktabah Al Ma‟arif, 1996)
Von Denver, Ahmad,. Ulum Al Qur‟an , (United Kingdom: The Islamic Foundation)
Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi hati masyarakat yang telah terperosok dalam kerusakan aqidah, perundang-undangan dan perilaku. Beban dakwah baru bisa diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan pondasi kua
2
telah dipersiapkan untuk memikul beban dakwah tersebut. Asas perundang-undangan dan aturan sosial baru bisa digariskan setelah hati manusia dibersihkan dari segala kerusakan aqidah dan tujuan dakwah telah ditentukan.
Orang yang membaca Al Qur‟an Karim akan melihat bahwa ayat-ayat Makkiah
mengandung karakteristik yang tidak terkandung di dalam ayat-ayat Madaniah, baik dalam irama, makna dan tutur penyampaiannya meskipun keduanya saling menopang dalam menentukan hukum-hukum dan perundang-undangan.
Pada zaman jahiliyah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mendustakan wahyu dan mengingkari hari akhir sebagaimana kata mereka:
“Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita
mati dan hidup dan yang akan membinasakan kita hanyalah waktu” (Al Jasiyah 24)
Mereka ahli berdebat dengan kata-kata yang pedas dan retorika yang luar biasa, sehingga ayat-ayat Makkiah yang diturunkan di Makkah juga merupakan goncangan yang mencekam di hati mereka, membakar seperti api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi yang sangat tegas dan kuat. Karakteristik ayat ini dapat menghancurkan keyakinan mereka terhadap berhala-berhala pujaan mereka dan mengantarkan mereka kepada agama tauhid.
Setelah tiga belas tahun turunnya ayat-ayat Makki terbentuk masyarakat yang beriman kepada Allah serta aqidahnya telah diuji dengan berbagai cobaan dari orang musyrik pada zaman itu dan ternyata mereka dapat bertahan, maka Allah menurunkan ayat-ayat Madaniah dengan sebelumnya memerintahkan mereka untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka dan sanak saudara mereka untuk berhijrah ke kota Madinah.
Dan jika kita melihat ayat-ayat Madaniah yang panjang, membicarakan hukum islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkorban di jalan Allah, meletakkan kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi antar golongan dan bangsa. Juga menyingkap aib dan isi hati orang-orang munafik serta berdialog dengan para ahli kitab dan membungkam hujjah-hujjah yang mereka kemukakan, inilah ciri umum dari ayat-ayat Madaniah.
B. Perbedaan Makki dan Madani
Sebelum membedakan Makki dan Madani terlebih dahulu kita harus mengetahui
bagaimana para ulama menentukan dan memutuskan bahwa suatu ayat atau surat disebu
Makki dan Madani. Dan untuk mengetahui Makki dan madani para ulama bersandar pada dua
cara utama yaitu:
1.Sima‟i Naqli
Cara ini didasarkan pada riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan
menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi‟in yang mendengar dari para sahabat
bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu tersebut. Cara ini menjadi cara utama para ulama menentukan suatu ayat Al Qur‟an apakan termasuk dalam kategori Makkiah atau Madaniah.
2. Qiyas Ijtihadi
Cara ini didasarkan pada ciri-ciri dari Makki dan Madani, para ulama mengelompokkan ayat-ayat Makki dengan meneliti ciri dari ayat-ayat tersebut meskipun terdapat dalam surat Madani, begitu juga sebaliknya. Dan bila dalam suatu surat terdapat ciri-ciri Makki lebih dominan daripada Madani maka Surat tersebut secara qiyas ijtihadi disebut sebagai Surat Makki, begitu juga sebaliknya.1
Sedikitnya ada empat landasan teori yang dikemukakan oleh para Ulama dalam menentukan kriteria untuk memisahkan bagian yang disebut Makki dan Madani, dan keempat teori tersebut memiliki dasarnya sendiri sebagai berikut:2
1. Dari Tempat Turunnya (Mulãhazhatu Makãnin Nuzul)
Makki adalah ayat atau surat dalam Al Qur‟an yang diturunkan di Makkah dan
sekitarnya, seperti Mina, arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani diturunkan di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara konkrit, sebab ayat-ayat yang turun di perjalanan seperti di Baitul Maqdis atau Tabuk tidak termasuk dalam kedua kategori tempat turunnya sehingga ayat-ayat tersebut tidak dinamakan Makki dan tidak juga Madani.
2. Dari Sasaran Turunnya (Mulãhazhatu Mukhãtabiina Fin Nuzul)
Makki adalah ayat atau surat dalam Al Qur‟an yang seruannya ditujukan untuk
penduduk Makkah dan Madani seruannya ditujukan untuk penduduk Madinah.
Berdasarkan pendapat ini, para ulama yang mendukungnya menklasifikasikan bahwa
ayat Al Qur‟an yang mengandung seruan yã ayyuhan nãs (wahai manusia) adalah
Makki, sedangkan ayat yang mengandung seruan yã ayyuhal ladziina ãmanu (wahai
orang-orang yg beriman) adalah Madani. Namun pada kenyataannya tidak semua ayat
Al Qur‟an didahului dengan kata-kata tersebut.
3. Dari Waktu Turunnya (Mulãhazhatu Zamãnin Nuzul)
1Manna Khalil Al Qattan, Mabahit fi Ulumil Qur‟an (Riyadh: Maktabah Al Ma‟arif)
2H. Abdul Jalal, Prof. DR. HA., Ulumul Qur‟an (Edisi Lengkap), (Surabaya: Dunia ilmu, 2009), 78
Makki adalah ayat atau surat dalam Al Qur‟an yang diturunkan sebelum hijrah
meskipun bukan di kota Makkah dan Madani diturunkan setelah hijrah meskipun
diturunkan di Makkah atau bukan di kota Madinah, misalnya:
“Hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kulengkapi kepadamu
nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagimu” (Al Ma‟idah 3)
Dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Umar RA., dijelaskan bahwa ayat tersebut di atas diturunkan pada malam Arafah hari jum‟at tahun haji Wada‟. Dan pendapat ini lebih baik dari dua pendapat sebelumnya karena lebih memberikan kepastian dan konsistensi.3
Kelebihan dari teori ini menurut para ulama adalah teori yang paling selamat, karena
rumusan teori ini mencakup seluruh isi Al Qur‟an sebab semua surah/ayat dalam Al
Qur‟an kalau tidak turun sebelum hijrah pasti turun setelah hijran. Jadi tidak satupun
surah/ayat Al Qur‟an yang terlepas dari rumusan teori ini.4
4. Dari Isi yang Terkandung (Mulãhazhatu Mã Thadhammant Assurah)
Makki menurut teori ini ialah surah/ayat yang berisi cerita-cerita ummat dan para Nabi
terdahulu, sedang Madani menurut teori ini adalah surah/ayat yang berisi hukum-hukum
hudud, fara‟id dan sebagainya. Dalil yang dijadikan landasan teori ini ialah riwayat
Hisyam dari ayahnya Al Hakim, sebagai berikut:
Setiap surah yang di dalamnya disebutkan hukum-hukum, fara‟id adalah Madaniyah, dan setiap surah yang didalamnya disebutkan kejadian-kejadian masa lalu adalah Makkiyah.
3Manna Khalil Al Qattan, Mabãhit fi Ulumil Qur‟an, (Riyadh: Maktabah Al Ma‟arif, 1996)
4H. Abdul Jalal, Prof. DR. HA.,Ulumul Qur‟an (Edisi Lengkap), (Surabaya: Dunia ilmu, 2009), 85
5
Kelebihan dari teori ini adalah kriterianya jelas, lebih mudah untuk dikenali sebab hanya dengan melihat tanda-tanda tertentu dalam surah/ayat sehingga lebih gampang untuk membedakannya.5
C. Ciri Khas Makki dan Madani
Dengan menamakan sebuah surah itu Makkiah atau Madaniah tidak berarti bahwa surat tersebut seluruhnya Makkiah atau Madaniah, sebab di dalam surat Makkiah terkadang terdapat ayat-ayat Madaniah, dan di dalam surah Madaniah pun terkadang terdapat ayat-ayat Makkiah. Dengan demikian, penamaan surah itu Makkiah atau Madaniah adalah menurut sebagian besar ayat-ayat yang terkandung di dalamnya. Karena itu, dalam penamaan surah sering disebutkan bahwa surah itu Makkiah kecuali ayat "anu" adalah Madaniah; dan surah ini Madaniah kecuali ayat "anu" adalah Makkiah, misalnya surah Al Anfal itu Madaniah, tetapi banyak ulama mengecualikan ayat 30 yang dianggap sebagai ayat Makkiah.6
“Dan ketika orang kafir (Quraisy) membuat makar terhadapmu untuk
memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu, mereka berbuat makar akan tetapi Allah menggagalkan makar mereka, sesungguhnya Allah sebaik-baik pembalas makar” (Al Anfal 30)
Para ulama telah meneliti surat-surat Makki dan Madani, dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis dari keduanya yang menerangkan ciri-ciri khas, gaya bahasa, dan persoalan- persoalan yang dibicarakannya. Dari situ para ulama dapat menyimpulkan kaidah-kaidah dari ciri khas tersebut, yaitu:
1. Ketentuan Makki dan ciri khas temanya.
Dari segi Ketentuan sbb:
a.Setiap yang di dalamnya mengandung “sajdah” maka surat tersebut adalah bagian
dari Makki.
b. Setiap surat yang mengandung lafalk al la, berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat
dalam separuh terakhir dari Al qur‟an, dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali
dalam lima belas surat.
c. Setiap surat yang mengandung lafal yã ayyuhan nãs dan tidak mengandung lafaly ã
ayyuhal lazina ãmanu berarti Makki, kecuali surat Al hajj yang pada akhir surat
5Ibid. , 87.
6 Al Wahidy, Asbabu Nuzul Al Qur‟an, Al Mauqi‟ Al Waraq
6
terdapat lafal ya ayyuhal lazina ãmanurka‟u wasjudu, namun sebagian besar ulama
berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makkiah.
d. Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makki,
kecuali surat Al Baqarah.
e. Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan seperti Alif Lãm Mim, Alif
Lãm Rã, Hã Mim dan lainnya adalah Makki, kecuali surat Al Baqarah dan surat Ali
imran dan surat Al ra‟d masih diperselisihkan.
sedangkan dari segi tema dan gaya bahasa dapat diringkas sebagai berikut:
a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, hari kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan azabnya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti yang rasional dan ayat-ayat kauniyah.
b. Peletakan dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlaq mulia yang menjadi terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang-orang musyrik dalam menumpahkan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan bayi perempuan hidup-hidup dan tradisi buruk lainnya.
c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan perintah Allah sebelum mereka.
d. Sebagai hiburan untuk Rasulullah dan para pengikutnya agar mereka tabah dalam menahan cobaan dan hinaan dari orang-orang kafir, dan untuk menambahkan keyakinan mereka bahwa Allah berada di pihak mereka.
e. Suku katanya pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataan singkat ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hari dan maknanyapun meyakinkan dengan diperbuat dengan lafal-lafal sumpah.7
2. Ketentuan Madani dan ciri khas temanya.
Dari segi Ketentuan sbb:
a. Setiap surat yang berisi kewajiban atauh ad (sanksi) adalah Madani.
b. Setiap surat yang di dalamnya disebutkan tentang orang munafiq adalah Madani
kecuali surat Al Ankabut adalah Makki.
c. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan para ahli kitab adalah Madani.
sedangkan dari segi tema dan gaya bahasa dapat diringkas sebagai berikut:
7 Ahmad Von Denver, Ulum Al Qur‟an (United Kingdom: The Islamic Foundation)
7
a.Menjelaskan tata cara ibadah, mu‟amalah,had, kekeluargaan, warisan, jihad, kaidah hukum, masalah perundang-undangan dan hubungan sosial baik di waktu damai maupun saat perang.
b. Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk memeluk agama Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah terdahulu, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah kebenaran datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.
c. Menyingkap perilaku orang-orang munafiq, menganalisis kejiwaan mereka,
membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa mereka berbahaya bagi agama.
d. Suku kata dan ayat-ayatnya panjang dengan gaya bahasa yang memantapkan
ketentuan syari‟at serta menjelaskan tujuan dan sasaran syari‟at tersebut.
D. Faedah Mengetahui Makki dan Madani
Pengetahuan tentang Makki dan Madani banyak faedahnya diantaranya adalah:
1. Sebagai alat bantu dalam menafsirkan Al Qur‟an, sebab mengetahui tempat turunnya suatu ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafaz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal tersebut seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dan mansukh, yakni bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif maka yang datang kemudian merupakan nasikh atas ayat yang terdahulu.
2. Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniah dan Makkiah yang keduanya memenuhi syarat-syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniah tersebut menjadi nasikh bagi ayat Makkiah karena ayat Madaniah datang belakangan setelah ayat Makkiah.
3. Mengambil istimbath dari gaya bahasa Al Qur‟an dalam berdakwah dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah SWT., sebab setiap situasi mempunyai bahasa sendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makki dan
Madani dalam Al Qur‟an memberikan kepada siapa saja yang membaca dan
mempelajarinya sebuah metode penyampaian dakwah ke jalan Allah SWT., sesuai dengan kejiwaan lawan bicara dan menguasai pikiran dan perasaannya dengan penuh kebijaksanaan.
4. Mengetahui sejarah hidup Rasulullah melalui ayat-ayat Al Qur‟an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dan segala peristiwa yang beliau hadapi saat itu, baik pada periode dakwah di Makkah mapun Madinah. Sejak
permulaan turunnya wahyu hingga ayat terakhir, Al Qur‟an adalah sumber pokok bag
8
peri hidup Rasulullah, maka dari itu sejarah dakwah beliau yang diriwayatkan oleh para
ahli sejarah harus sesuai dengan Al Qur‟an.8
E.Hikmah Turunnya Al Qur’an berangsur-angsur
Telah jelas dari pembagian Al Qur‟an menjadi ayat-ayat Makkiah dan Madaniah menunjukkan bahwa Al Qur‟an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur‟an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, diantaranya adalah memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkannya karena Al Qur‟an dibacakan kepada mereka secara bertahap, berdasarkan firman Allah SWT:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: „Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan berupa manfa‟at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya.”(Al Baqarah: 219)
8 Manna Khalil Al Qattan, Mabahit fi Ulumil Qur‟an (Riyadh: Maktabah Al Ma‟ari
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Kemudian yang kedua turun firman Allah „Azza wa Jalla:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (An Nisaa‟: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar pada
keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat. Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah
„Azza wa Jalla:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah
kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu(” (Al
Maa‟idah: 90-91)
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.9
9A l-„Utsaimin, Muhammad bin Shalih,. Bagaimana Kita Memahami Al -Qur‟an, Cahaya Tauhid Press Malang
DAFTAR PUSTAKA
Al Wahidy,. Asbãbu Nuzul Al Qur‟an, Al Mauqi‟ Al Waraq (Maktabah Syameela)
Al-„Utsaimin, Muhammad bin Shalih,. Bagaimana Kita Memahami Al-Qur‟an: edisi Indonesia,
(Malang: Cahaya Tauhid Press)
Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemahnya.
H. Abdul Jalal, Prof. DR. HA., Ulumul Qur‟an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2009)
Manna Khalil Al Qattan, Mabãhit fi Ulumil Qur‟an, (Riyadh: Maktabah Al Ma‟arif, 1996)
Von Denver, Ahmad,. Ulum Al Qur‟an , (United Kingdom: The Islamic Foundation)
'ALIM ULAMA PEWARIS PARA NABI
Agama adalah suatu yang sakral dalam kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Karena agama diyakini sebagai suatu ajaran wahyu dari sang Pencipta. Keberadaan agama ditengah-tengah umat ibarat sang penyelamat dari berbagai malapetaka. Segala kerusakan dan kehancuran di muka bumi tak lain dan tak bukan adalah akibat ulah tangan kotor para musuh dan perusak agama.
Islam adalah satu-satunya agama yang benar yang sangat diharapkan kehadirannya untuk melanggengkan kehidupan di alam ini. Tanpa Islam rasanya sulit bagi manusia untuk lepas dari berbagai angkara murka yang terdapat pada gelombang kehidupan yang tak kenal belas kasih.
Keterikatan antara Islam dan ulama sangatlah erat. Perkembangan dan kemajuan Islam masa lampau tak lepas dari peran ulama. Di abad modern ini sosok-sosok ulama yang konsisten dengan agamanya sangat di butuhkan, dalam upaya mengembalikan kaum muslimin ke masa keemasannya. Yang dimaksud dengan ulama dalam konsep Islam yang benar adalah seseorang yang menguasai disiplin-disiplin ilmu Islam secara utuh mulai dari ilmu alat (bahasa, sastra, dll) sampai ilmu pelengkap lalu menerapkan dalam kepribadian, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Al-Imam Abu Qasim Al-Ashbahani pernah menyinggung tentang hal ini. Beliau mengatakan : “ Ulama Salaf menegaskan: Seseorang tidak dinyatakan sebagai Imam dalam agama Islam sampai dia memiliki beberapa hal sebagai berikut :
Hapal berbagai bidang ilmu bahasa arab beserta perselisihannya.
Hapal beraneka ragam perselisihan para fuqaha dan para ulama.
Berilmu, paham dan hapal tentang i’irab (harakat akhir kata untuk menentukan kedudukan kata tersebut pada kalimat bahasa arab, pent.) dan perselisihannya.
Berilmu tentang Kitabullah (Al-Qur’an) yang mencakup variasi bacaan beserta perselisihan para ulama tentangnya, tafsir ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, nasikh mansukh dan kisah-kisah yang tertera didalamnya.
Berilmu tentang hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkemampuan untuk membedakan shahih dan dlaif(lemah), bersambung atau terputus (sanadnya), mursal daan musnadnya, masyhur dan gharibnya.
Berilmu tentang atsar-atsar sahabat.
Wara’.
Memelihara muru’ah (kehormatan diri).
Jujur.
Terpercaya.
Melandasi agamanya dengan Al-Quran dan Sunah
Apabila seseorang telah berhasil mengaplikasikan poin-poin diatas pada dirinya, maka ia boleh menjadi imam dalam madzhab serta berijtihad bahkan menjadi sandaran dalam agama dan fatwa. Lalu apabila dia gagal, tidak boleh baginya menjadi imam dalam madzhab dan panutan dalam berfatwa….” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah hal 306-307, cetakan Dar Rayah)
Para ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Mereka adalah pewaris para nabi untuk mengemban misi dakwah Islam kepada segenap manusia. Baik dan buruknya suatu generasi, suatu kaum, suatu bangsa, suatu negeri, atau suatu lapisan masyarakat tergantung sejauh mana para ulama menjalankan perannya sebagai pelanjut dakwah para Nabi di jagat raya ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadist :
وان العلماء ورثة الا نبياء, وان الانبياء لم يور ثوا دينارا ولا د رهما وانماورثوا العلم فمن أخز به أخز بحظ وافر } روا5 ابن ما جه وا بن حبا ن {
“…. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan tidak pula uang dirham. Hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mewarisinya, berarti dia telah mendapatkan keuntungan yang sempurna. “
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)1
Keberadaan ulama pewaris para nabi di muka bumi merupakan rahmat bagi seluruh anak Adam. Karena tanpa mereka niscaya kehidupan manusia di seluruh alam ini tak jauh beda dengan kehidupan binatang. Bukankah kehidupan binatang hanya bertumpu pada pemuasan syahwat perut dan kemaluan tanpa pernah kenal syariat ? Maka demikianlah kehidupan anak cucu Adam, kalau tidak ada ulama pewaris Nabi yang mengenalkan syariat kepada mereka sepeninggal Nabi dan Rasul utusan Allah.
Al-Hasan Al-Bashri pernah menegaskan hal ini dalam sebuah nasehatnya, beliau berkata: “Kalau tidak ada ulama niscaya manusia seperti binatang.”(Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 15, cetakan Maktabah Dar Bayan)
SAHAM ULAMA PEWARIS NABI UNTUK ISLAM
Begitu pentingnya peran ulama pewaris nabi dalam mengemban misi dakwah Islam, tentu banyak pula saham yang telah mereka berikan untuk keberlangsungan Islam. Untuk mengetahui bentuk saham tersebut alangkah baiknya kita menyimak ucapan Syaikh Tsaqil bin Shalfiq Al-Qashimi tentang mereka. Beliau menjelaskan: “Mereka (ulama pewaris Nabi), adalah orang-orang yang mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain untuk mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mencatatnya dalam lembaran-lembaran dengan metode yang bermacam-macam seperti (karya tulis berbentuk) musnad2, majma’3, mushannaf4, sunan5, muwaththa’6, az-zawaid7 dan mu’jam8.
Mereka menjaga hadits-hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemalsuan dan tadlis9. Mereka membedakan antara hadits-hadits shahih dari yang lemah. Oleh sebab itu mereka membuat kaidah-kaidah hadits yang mempermudah proses pembedaan antara hadits yang bisa diterima dari hadits yang harus ditolak.
Disamping itu mereka juga membeda-bedakan para perawi hadits. Mereka mengarang kitab-kitab tentang para perawi hadits: Yang terpercaya, yang lemah dan para pemalsu hadits. Mereka menukilkan pula (dalam karangan-karangan tersebut) ucapan para Imam yang memiliki ilmu dalam bidang pencatatan dan pemujian perawi hadits (para ulama jarh wa ta’dil). Bahkan mereka membeda-bedakan riwayat-riwayat dari rawi yang satu antara riwayat-riwayat yang ia diterima dari penduduk negeri Syam, penduduk negeri Iraq atau penduduk negeri Hijaz10, Mereka juga membedakan antara riwayat seorang yang mukhtalath (orang-orang yang kacau hapalannya) 11, mana hadits-hadits yang diriwayatkan sebelum ikhtilath dan yang diriwayatkan sesudahnya. Demikian seterusnya.
Sesungguhnya orang yang membidani ilmu hadits dengan berbagai macam cabangnya, pembagiannya, jenis dan karya-karya tulis tentangnya, akan benar-benar mengakui besarnya andil mereka (ulama pewaris nabi) dalam menjaga hadits Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka telah menjelaskan aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah dengan seluruh bab-bab nya dan membantah para ahlul bid’ah yang menyimpang darinya. Mereka telah memberikan peringatan agar berhati-hati ahlul ahwa’ wal bid’ah, melarang duduk bersama mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. Bahkan mereka tidak mau menjawab salam dari ahlul bid’ah, serta tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan mereka dalam rangka menghinakan dan merendahkan ahlul bid’ah dan yang sejenisnya. Selanjutnya mereka menulis tentang hal ini dalam banyak tulisan.
Mereka telah mengumpulkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang berkenaan dengan tafsir Al-Quran AL-Adhim, seperti Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir As-Shan’ani, Tafsir AnNaasa’i. Diantara mereka ada yang mengarang kitab-kitab tafsir mereka seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir dan yang lainnya. Disamping mengarang kitab-kitab tafsir mereka juga membentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar tentang tafsir Al-Qur’an. Bahkan mereka juga membedakan antara penafsiran yang menggunakan riwayat dengan penafsiran yang menggunakan rasio.
Keemudian mereka juga meengarang kitab-kitab fiqh dengan seluruh bab-babnya. Mereka berusaha membahas setiap permasalahan fiqh dan menjelaskan hukum-hukum syariat amaliyah dilengkapi dengan dalil-dalil yang rinci dari Al-Qur’an, As Sunah,Ijma’ dan Qiyas(sebagai landasan pembahasan). Mereka meletakan kaidah-kaidah fiqh dan yang dapat mengumpulkan berbagai cabang dan bagian (permasalahan) dengan ilat (penyebab) yang satu. Lalu mereka juga menyusun ilmu ushul fiqh yang mengandung kaidah-kaidah untuk melakukan istinbath (pengambilan) hukum syariat yang bercabang-cabang. Mereka telah melahirkan karya-karya yang cukup banyak tentang disiplin-disiplin ilmu fiqh ini.
Berikutnya juga mengarang kitab-kitab sirah, tarikh, adab, zuhud, raqaiq(pelembut jiwa), bahasa arab, nahwu, dan bermacam-macam karangaan di berbagai bidang ilmu yang cukup banyak…”
Demikian keterangan yang dibawakan secara panjang lebar oleh Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qashimi. (Sallus Suyuf wa Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, hal. 76-77, penerbit Dar Ibnu Atsir)
Dari masa ke masa para ulama pewaris nabi telah berjasa dalam bidang-bidang ilmu seperti yang disebutkan diatas. Diantaranya adalah:
Ahmad bin Hanbal, Ad-Darimi, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Malik bin Anas, Sufyan At-Tsauri, Ali bin Al-Madani, Yahya bin said, Al-Qahthan, Asy-Syafi’I, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Khuzaimah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Adi, Ibnu Mandah, Al-Lalikai, Ibnu Abi Ashim, Al-Khalal, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Ibnu abdil Bar, Al Khatib Al-Baghdadi, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab beserta anak-anak dan cucu-cucunya yang menjadi ulama Nejd, Muhibuddin Al-Khatib, Muhammad Hamid Al-Fiqi dari Mesir dan ulama Sudan, para ulama Maroko dan Syam, dan seterusnya.
Kemudian ulama masa kini yang berjalan di atas manhaj ulama terdahulu seperti Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (mufti negara Saudi Arabia), Syaikh ahlul hadits Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzaan, Shalih Ak-Athram, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Abdullah Al Ghadyan, Shalih Al-Luhaidan, Abdullah bin Jibrin, Abdur Razaq Afifi, Humud At-Tuwaijiri, Abddul Muhsin Al-Abbad, Hammad Al-Anshari, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Muhammad Aman Al-Jami’, Ahmad Yahya An-Najami, Zaid Muhammad Hadi Al-Madkhali, Shalih Suhaimi, Shalih Al-‘abbud dan para ulama lain yang berada di alam Islami (saat ini).
Kita memohon petunjuk kepada Allah yang Maha Hidup dan berdiri sendiri untuk menjaga yang masih hidup dari mereka dan merahmati yang sudah meninggal. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita semua orang-orang yang mengikuti langkah mereka dan membangkitkan kita bersama mereka dan Nabi tauladan kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di dalam Surga Firdaus. (Lihat Sallus Suyuf hal. 78-79)
CIRI-CIRI DAN SIFAT ULAMA PEWARIS NABI
Didunia ini ulama dibagi menjadi 2 bagian:
1. Ulama su’ (ulama yang jahat)
2. Ulama pewaris Nabi
Sifat Ulama Su’ (Ulama Yang Jahat)
Ulama su’ memiliki sifat cinta yang berlebihan terhadap kesenangan dunia. Ibnu Qudamah menjelaskan tentang mereka dengan mengucapkan: “Mereka adalah orang-orang yang bertujuan menggunakan ilmu agama untuk bersenang-senang dengan dunia dan mencapai kedudukan yang tinggi disisi pendukungnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Dari abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda: “Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang semestinya untuk mencari wajah Allah, (kemudian) dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkansebuah tujuan dunia, dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat nanti.” (HR. Abu dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat lain Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang mempelajari ilmu agama untuk membanggakan diri terhadap para ulama atau mendebat orang-orang yang bodoh atau mengalihkan perhatian manusia kepadanya, maka dia di neraka.” (HR. Tirmidzi)
Sebagian Salaf menandaskan: “Manusia yang paling menyesal disaat meninggal dunia adalah orang alim yang menyia-nyiakan ilmunya.”
Sifat Ulama Pewaris Nabi
Mereka mengetahui bahwa dunia itu hina dan akhirat itu mulia. Keduanya seperti dua madu (dibawah seorang suami, pent.). Oleh kerena itu mereka lebih mengutamakan akhirat. Hal ini mereka realisasikan dalam bentuk perbuatan yang tidak pernah menyelisihi ucapan mereka. Mereka cenderung mempelajari ilmu yang bermanfaat di akhirat dan menjauhkan ddiri dari ilmu yang sedikit manfaatnya.
Sebagaimana telah diriwayatkan dari Syaqiq Al-balkhi rahimahullah bahwa dia pernah bertanya kepada Hatim: “Engkau telah bergaul denganku beberapa lama, lalu apa yang engkau pelajari (dariku)?’
Hatim menjawab: (aku telah mempelajari) 8 perkara, diantaranya yang pertama:
Aku melihat kepada para mahluk, maka aku dapati setiap orang memiliki kekasih. Namun tatkala ia memasuki kuburannya ia berpisah dari kekasihnya. Disaat itu aku menjadikan kebaikan-kebaikanku sebagai kekasihku agar kekasihku tetap bersamaku di dalam kubur…dst.
Kemudian termasuk sifat ulama akhirat:
Mereka menjauhi penguasa dan menjaga diri mereka.
Hudzaifah bin Yaman menasehatkan: “Hindari oleh kalian tempat-tempat fitnah.” Beliau ditanya:”Apa itu tempat-tempat fitnah.”Beliau menjawab:’(tempat-tempat fitnah) adalah pintu-pintu para penguasa. Salah seorang diantara kalian masuk menemui seorang penguasa, lantas dia akan membenarkan penguasa itu dengan dusta dan menyatakan sesuatu yang tidak ada padanya.”
Said bin Musayyib menegaskan:”Jika kamu melihat seorang alim bergaul dengan penguasa, maka hati-hatilah darinya karena sesungguhnya dia adalah pencuri.”
Sebagian Salaf menjelaskan:”Sesungguhnya tidaklah kamu mendapatkan sesuatu kehidupan dunia (dari para penguasa) melainkan mereka telah memperoleh dari agamamu sesuatu yang lebih berharga darinya.”
Mereka tidak terburu-buru dalam berfatwa (sehingga mereka tidak berfatwa kecuali setelah menyakini kebenarannya).
Adalah para Salaf saling menolak untuk berfatwa sampai pertanyaan kembali lagi kepada orang yang pertama (di tanya).
Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan kisahnya: “Aku pernah mendapati di masjid (nabi) ini 120 orang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka saat ditanya tentang suatu hadits atau fatwa melainkan dia ingin saudaranya (dari kalangan shahabat yang lain) yang menjawabnya. Kemudian tibalah masa pengangkatan kaum-kaum yang mengaku berilmu saat ini. Mereka bersegera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kalau seandainya pertanyaan ini dihadapkan kepada Umar bin Khattab, niscaya beliau mengumpulkan ahli Badar untuk di ajak bermusyawarah dalam menjawabnya.”
Ulama akhirat mayoritas pembahasan mereka adalah ilmu yang berkaitan dengan amal dan perkara-perkara yang dapat merusakannya, mengotori hati dan membangkitkan was-was. Hal ini disebabkan karena membentuk amalan-amalan sangat mudah sedangkan membersihkan amat sulit. Kaidah dasarnya adalah: “Menjaga diri dari kejelekan tidak akan bisa terjadi hingga ia mengetahui tentang kejelekan.”
Ulama akhirat selalu membahas atau mencari rahasia amalan-amalan yang di syariatkan dan memperhatikan hikmah-hikmahnya. Jika mereka tidak mampu menyibak tabir rahasianya, mereka tetap bersikap pasrah dan menerima syariat Allah.
Termasuk sifat Ulama Akhirat adalah mengikuti para shahabat dan orang-orang pilihan dari kalangan tabi’in selanjutnya mereka menjaga diri dari setiap perkara baru dalam agama(bid’ah).
(disadur dari Minhajul Qashidin karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 23-26, Maktabah Dar bayan Muassah ‘Ulumul Qur’an)
PUJIAN ALLAH TERHADAP ULAMA
Setelah kita mengetahui peranan penting para ulama dalam melanggengkan keberlangsungan dakwah Islam, rasanya sangatlah tepat Allah memuji mereka dalam banyak ayat Al-Qur’an. Diantaranya Allah berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil saja (diantara kamu).”(An-Nisa:83)
Imam Al-Hasan Al-Basri dan Al-Qatadah menafsirkan:”Ulil amri dalam ayat ini adalah ahlul ilmi dan fiqh.”(Tafsir Thabari jilid 3 juz 5 hal.177 cet. Dar.Kutub Ilmiyyah)
Allah juga berfirman:
“Allah memberikan kesaksian bahwasanya tidak ada ilah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga memberikan kesaksian demikian). Tidak ada ilah melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Ali Imran:18)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: “…ini kedudukan yang mengandung keistimewaan agung bagi para ulama….”(Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hal.360, cet.Dar.Ma’rifah)
Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah menggandengkan antara persaksian orang-orang berilmu dengan persaksian Allah sendiri dan malaikat-Nya. Hal ini menunjukan keutamaan yang agung bagi para ulama.”(Sallus Suyuf hal.63)
Allah berfirman:
“Katakan: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”(Az-Zumar:9)
Imam Al-Qurthubi mengomentari ayat ini dengan menyatakan: “Orang yang berilmu adalah orang yang bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak mengamalkannya, maka ia bukan seorang yang berilmu…..”(Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15 hal. 156, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
Tentunya pertanyaan Allah disini adalah pertanyaan “pengingkaran”. Yang jelas jawabannya adalah: “Tidak sama.” Maka dari pemahaman ini ayat diatas menunjukkan keutamaan ulama dari yang bukan ulama.
Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qasami mempertegaskan hal ini. Beliau menyatakan:”Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah memuliakan para ulama! (Allah menjelaskan) bahwa orang yang tidak berilmu tidak sama kedudukannya dengan orang yang berilmu.”(Sallus Suyuf hal.63)
Allah berfirman:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…..”(Al-Mujadalah: 11)
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat diatas dengan menyatakan:”Maksud”(“Allah meninggikan mereka”) adalah dalam hal pahala di akhirat dan kemuliaan di dunia. Maka Allah mengangkat derajat orang yang beriman diatas orang yang beriman, dan mengangkat derajat orang yang berilmu diatas derajat orang yang tidak berilmu. Ibnu Mas’ud berkata: “Dalam ayat ini Allah memuji para ulama.”Makna ayat ini adalah Allah mengangkat (derajat) orang yang beriman dan berilmu diatas orang yang beriman namun tidak berilmu beberapa derajat dalam agama mereka jika mereka melaksanakan apa yang diperintahkan Allah…”(Tafsir Qurthubi jilid 9 juz hal. 194, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
Demikianlah beberapa ayat beserta tafsirannya yang mengandung pujian terhadap para ulama. Tentunya banyak ayat lain yang senada dengan ayat-ayat diatas. Kami membawakan sebagian saja unttuk meringkas pembahasan kita ini. Keterangan diatas sekali lagi menunjukan kepada kita bahwa para ulama adalah orang-orang yang mulia disisi Allah sehingga menjadi sebab turunnya rahmat di alam ini. Oleh karena itu semua muslimin memiliki kewajiban memuliakan para ulama pewaris nabi sebagaimana Allah telah memuliakan mereka. Barang siapa yang ingin menanam saham dalam menghancurkan dan merusak Islam, tentu ia akan menjatuhkan kehormatan dan meninggalkan para ulama.
Cinta pada para ulama adalah salah satu tanda bagi seseorang bahwa dia Ahlus Sunah. Al-Imam Abu Utsman As-Shabuni mengatakan: “salah satu tanda dari Ahlus Sunah adalah mereka (Ahlus Sunnah) cinta kepada para Imam Sunnah, para ulama sunnah dan para wali Sunnah. Disamping itu mereka benci kepada para Imam ke bid’ahan yang menyeru ke neraka dan menunjukan para pengikutnya ke tempat kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghiasi dan menyinari hati dengan cahaya cinta kepada para ulama sunah sebagai sebuah keutamaan dari Allah ‘aza wa Jalla.”(Aqidatus Salaf Ash-Habul Hadits karya Abu Utsman Ashabuni hal. 121 cetakan Maktabah Ghuraba Al-Atsariyah)
Adapun membenci para ulama merupakan salah satu tanda bagi seorang bahwa ia adalah Ahlul Bid’ah. Mengenai hal ini, Abu Utsman Ashabuni berkata:”Tanda-tanda Ahlul Bid’ah sangat jelas dan nampak pada diri mereka. Tanda mereka yang paling menonjol dan nampak jelas adalah permusuhan mereka yang keras, penghinaan dan pelecehan terhadap ulama pembawa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka menggelari para ulama dengan sebutan “orang dungu”, “bodoh”,”tekstual”dan “orang yang suka menyerupakan Allah dengan makhluk –Nya “dst… (Aqidatus Salaf hal.116)
Inilah beberapa keterangan seputar pembahasan ulama pewaris Nabi. Kita berharap pada Allah, mudah-mudahan tulisan ini bermamfaat bagi kaum muslimin dalam mengenali para ulama yang berada di tengah-tengah mereka.
Ya Allah! Jadikanlah kami para hamba-Mu yang gigih dalam membela agama-Mu dan terimalah amal-amal kami sebagai amal yang berbuah hasil ridla di sisi-Mu.Amin,ya Rabbul ‘alamin.
∞∞ ∞∞ ∞∞
Maraji’ (Daftar Pustaka):
1. Al-Hujjah fi bayanil Mahajjah, Abul qasim Al-Ashbahani, tahqiq dan dirasah Muhammad bin Rabi’ bin Hadi Umair Al-Madkhali, cetakan dar Rayah.S
2. Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cetakan Maktabah Dar Bayan.
3. Sallus Suyuf wal Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, Dar Ibnu Atsir.
4. Minhajul Qasidhim, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit Maktabah Dar Bayan & Muassah “Ulumul Qur’an.
5. Tafsir Thabari jilid 3 juz 5, Imam Thabari, penerbit Dar Kutub Ilmiyyah.
6. Tafsir Ibnu Katsir jilid1, Ibnu Katsir, penerbit Dar Ma’rifah.
7. Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15, Imam Al-Qurthubi, penerbit Dar kutub Ilmiyyah.
8. Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, Abu Utsman As-Shabuni, cetakan Maktabah Ghuraba Al-atsariyah.
Islam adalah satu-satunya agama yang benar yang sangat diharapkan kehadirannya untuk melanggengkan kehidupan di alam ini. Tanpa Islam rasanya sulit bagi manusia untuk lepas dari berbagai angkara murka yang terdapat pada gelombang kehidupan yang tak kenal belas kasih.
Keterikatan antara Islam dan ulama sangatlah erat. Perkembangan dan kemajuan Islam masa lampau tak lepas dari peran ulama. Di abad modern ini sosok-sosok ulama yang konsisten dengan agamanya sangat di butuhkan, dalam upaya mengembalikan kaum muslimin ke masa keemasannya. Yang dimaksud dengan ulama dalam konsep Islam yang benar adalah seseorang yang menguasai disiplin-disiplin ilmu Islam secara utuh mulai dari ilmu alat (bahasa, sastra, dll) sampai ilmu pelengkap lalu menerapkan dalam kepribadian, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Al-Imam Abu Qasim Al-Ashbahani pernah menyinggung tentang hal ini. Beliau mengatakan : “ Ulama Salaf menegaskan: Seseorang tidak dinyatakan sebagai Imam dalam agama Islam sampai dia memiliki beberapa hal sebagai berikut :
Hapal berbagai bidang ilmu bahasa arab beserta perselisihannya.
Hapal beraneka ragam perselisihan para fuqaha dan para ulama.
Berilmu, paham dan hapal tentang i’irab (harakat akhir kata untuk menentukan kedudukan kata tersebut pada kalimat bahasa arab, pent.) dan perselisihannya.
Berilmu tentang Kitabullah (Al-Qur’an) yang mencakup variasi bacaan beserta perselisihan para ulama tentangnya, tafsir ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, nasikh mansukh dan kisah-kisah yang tertera didalamnya.
Berilmu tentang hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkemampuan untuk membedakan shahih dan dlaif(lemah), bersambung atau terputus (sanadnya), mursal daan musnadnya, masyhur dan gharibnya.
Berilmu tentang atsar-atsar sahabat.
Wara’.
Memelihara muru’ah (kehormatan diri).
Jujur.
Terpercaya.
Melandasi agamanya dengan Al-Quran dan Sunah
Apabila seseorang telah berhasil mengaplikasikan poin-poin diatas pada dirinya, maka ia boleh menjadi imam dalam madzhab serta berijtihad bahkan menjadi sandaran dalam agama dan fatwa. Lalu apabila dia gagal, tidak boleh baginya menjadi imam dalam madzhab dan panutan dalam berfatwa….” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah hal 306-307, cetakan Dar Rayah)
Para ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Mereka adalah pewaris para nabi untuk mengemban misi dakwah Islam kepada segenap manusia. Baik dan buruknya suatu generasi, suatu kaum, suatu bangsa, suatu negeri, atau suatu lapisan masyarakat tergantung sejauh mana para ulama menjalankan perannya sebagai pelanjut dakwah para Nabi di jagat raya ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadist :
وان العلماء ورثة الا نبياء, وان الانبياء لم يور ثوا دينارا ولا د رهما وانماورثوا العلم فمن أخز به أخز بحظ وافر } روا5 ابن ما جه وا بن حبا ن {
“…. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan tidak pula uang dirham. Hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mewarisinya, berarti dia telah mendapatkan keuntungan yang sempurna. “
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)1
Keberadaan ulama pewaris para nabi di muka bumi merupakan rahmat bagi seluruh anak Adam. Karena tanpa mereka niscaya kehidupan manusia di seluruh alam ini tak jauh beda dengan kehidupan binatang. Bukankah kehidupan binatang hanya bertumpu pada pemuasan syahwat perut dan kemaluan tanpa pernah kenal syariat ? Maka demikianlah kehidupan anak cucu Adam, kalau tidak ada ulama pewaris Nabi yang mengenalkan syariat kepada mereka sepeninggal Nabi dan Rasul utusan Allah.
Al-Hasan Al-Bashri pernah menegaskan hal ini dalam sebuah nasehatnya, beliau berkata: “Kalau tidak ada ulama niscaya manusia seperti binatang.”(Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 15, cetakan Maktabah Dar Bayan)
SAHAM ULAMA PEWARIS NABI UNTUK ISLAM
Begitu pentingnya peran ulama pewaris nabi dalam mengemban misi dakwah Islam, tentu banyak pula saham yang telah mereka berikan untuk keberlangsungan Islam. Untuk mengetahui bentuk saham tersebut alangkah baiknya kita menyimak ucapan Syaikh Tsaqil bin Shalfiq Al-Qashimi tentang mereka. Beliau menjelaskan: “Mereka (ulama pewaris Nabi), adalah orang-orang yang mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain untuk mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mencatatnya dalam lembaran-lembaran dengan metode yang bermacam-macam seperti (karya tulis berbentuk) musnad2, majma’3, mushannaf4, sunan5, muwaththa’6, az-zawaid7 dan mu’jam8.
Mereka menjaga hadits-hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemalsuan dan tadlis9. Mereka membedakan antara hadits-hadits shahih dari yang lemah. Oleh sebab itu mereka membuat kaidah-kaidah hadits yang mempermudah proses pembedaan antara hadits yang bisa diterima dari hadits yang harus ditolak.
Disamping itu mereka juga membeda-bedakan para perawi hadits. Mereka mengarang kitab-kitab tentang para perawi hadits: Yang terpercaya, yang lemah dan para pemalsu hadits. Mereka menukilkan pula (dalam karangan-karangan tersebut) ucapan para Imam yang memiliki ilmu dalam bidang pencatatan dan pemujian perawi hadits (para ulama jarh wa ta’dil). Bahkan mereka membeda-bedakan riwayat-riwayat dari rawi yang satu antara riwayat-riwayat yang ia diterima dari penduduk negeri Syam, penduduk negeri Iraq atau penduduk negeri Hijaz10, Mereka juga membedakan antara riwayat seorang yang mukhtalath (orang-orang yang kacau hapalannya) 11, mana hadits-hadits yang diriwayatkan sebelum ikhtilath dan yang diriwayatkan sesudahnya. Demikian seterusnya.
Sesungguhnya orang yang membidani ilmu hadits dengan berbagai macam cabangnya, pembagiannya, jenis dan karya-karya tulis tentangnya, akan benar-benar mengakui besarnya andil mereka (ulama pewaris nabi) dalam menjaga hadits Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka telah menjelaskan aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah dengan seluruh bab-bab nya dan membantah para ahlul bid’ah yang menyimpang darinya. Mereka telah memberikan peringatan agar berhati-hati ahlul ahwa’ wal bid’ah, melarang duduk bersama mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. Bahkan mereka tidak mau menjawab salam dari ahlul bid’ah, serta tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan mereka dalam rangka menghinakan dan merendahkan ahlul bid’ah dan yang sejenisnya. Selanjutnya mereka menulis tentang hal ini dalam banyak tulisan.
Mereka telah mengumpulkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang berkenaan dengan tafsir Al-Quran AL-Adhim, seperti Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir As-Shan’ani, Tafsir AnNaasa’i. Diantara mereka ada yang mengarang kitab-kitab tafsir mereka seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir dan yang lainnya. Disamping mengarang kitab-kitab tafsir mereka juga membentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar tentang tafsir Al-Qur’an. Bahkan mereka juga membedakan antara penafsiran yang menggunakan riwayat dengan penafsiran yang menggunakan rasio.
Keemudian mereka juga meengarang kitab-kitab fiqh dengan seluruh bab-babnya. Mereka berusaha membahas setiap permasalahan fiqh dan menjelaskan hukum-hukum syariat amaliyah dilengkapi dengan dalil-dalil yang rinci dari Al-Qur’an, As Sunah,Ijma’ dan Qiyas(sebagai landasan pembahasan). Mereka meletakan kaidah-kaidah fiqh dan yang dapat mengumpulkan berbagai cabang dan bagian (permasalahan) dengan ilat (penyebab) yang satu. Lalu mereka juga menyusun ilmu ushul fiqh yang mengandung kaidah-kaidah untuk melakukan istinbath (pengambilan) hukum syariat yang bercabang-cabang. Mereka telah melahirkan karya-karya yang cukup banyak tentang disiplin-disiplin ilmu fiqh ini.
Berikutnya juga mengarang kitab-kitab sirah, tarikh, adab, zuhud, raqaiq(pelembut jiwa), bahasa arab, nahwu, dan bermacam-macam karangaan di berbagai bidang ilmu yang cukup banyak…”
Demikian keterangan yang dibawakan secara panjang lebar oleh Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qashimi. (Sallus Suyuf wa Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, hal. 76-77, penerbit Dar Ibnu Atsir)
Dari masa ke masa para ulama pewaris nabi telah berjasa dalam bidang-bidang ilmu seperti yang disebutkan diatas. Diantaranya adalah:
Ahmad bin Hanbal, Ad-Darimi, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Malik bin Anas, Sufyan At-Tsauri, Ali bin Al-Madani, Yahya bin said, Al-Qahthan, Asy-Syafi’I, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Khuzaimah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Adi, Ibnu Mandah, Al-Lalikai, Ibnu Abi Ashim, Al-Khalal, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Ibnu abdil Bar, Al Khatib Al-Baghdadi, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab beserta anak-anak dan cucu-cucunya yang menjadi ulama Nejd, Muhibuddin Al-Khatib, Muhammad Hamid Al-Fiqi dari Mesir dan ulama Sudan, para ulama Maroko dan Syam, dan seterusnya.
Kemudian ulama masa kini yang berjalan di atas manhaj ulama terdahulu seperti Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (mufti negara Saudi Arabia), Syaikh ahlul hadits Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzaan, Shalih Ak-Athram, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Abdullah Al Ghadyan, Shalih Al-Luhaidan, Abdullah bin Jibrin, Abdur Razaq Afifi, Humud At-Tuwaijiri, Abddul Muhsin Al-Abbad, Hammad Al-Anshari, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Muhammad Aman Al-Jami’, Ahmad Yahya An-Najami, Zaid Muhammad Hadi Al-Madkhali, Shalih Suhaimi, Shalih Al-‘abbud dan para ulama lain yang berada di alam Islami (saat ini).
Kita memohon petunjuk kepada Allah yang Maha Hidup dan berdiri sendiri untuk menjaga yang masih hidup dari mereka dan merahmati yang sudah meninggal. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita semua orang-orang yang mengikuti langkah mereka dan membangkitkan kita bersama mereka dan Nabi tauladan kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di dalam Surga Firdaus. (Lihat Sallus Suyuf hal. 78-79)
CIRI-CIRI DAN SIFAT ULAMA PEWARIS NABI
Didunia ini ulama dibagi menjadi 2 bagian:
1. Ulama su’ (ulama yang jahat)
2. Ulama pewaris Nabi
Sifat Ulama Su’ (Ulama Yang Jahat)
Ulama su’ memiliki sifat cinta yang berlebihan terhadap kesenangan dunia. Ibnu Qudamah menjelaskan tentang mereka dengan mengucapkan: “Mereka adalah orang-orang yang bertujuan menggunakan ilmu agama untuk bersenang-senang dengan dunia dan mencapai kedudukan yang tinggi disisi pendukungnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Dari abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda: “Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang semestinya untuk mencari wajah Allah, (kemudian) dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkansebuah tujuan dunia, dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat nanti.” (HR. Abu dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat lain Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang mempelajari ilmu agama untuk membanggakan diri terhadap para ulama atau mendebat orang-orang yang bodoh atau mengalihkan perhatian manusia kepadanya, maka dia di neraka.” (HR. Tirmidzi)
Sebagian Salaf menandaskan: “Manusia yang paling menyesal disaat meninggal dunia adalah orang alim yang menyia-nyiakan ilmunya.”
Sifat Ulama Pewaris Nabi
Mereka mengetahui bahwa dunia itu hina dan akhirat itu mulia. Keduanya seperti dua madu (dibawah seorang suami, pent.). Oleh kerena itu mereka lebih mengutamakan akhirat. Hal ini mereka realisasikan dalam bentuk perbuatan yang tidak pernah menyelisihi ucapan mereka. Mereka cenderung mempelajari ilmu yang bermanfaat di akhirat dan menjauhkan ddiri dari ilmu yang sedikit manfaatnya.
Sebagaimana telah diriwayatkan dari Syaqiq Al-balkhi rahimahullah bahwa dia pernah bertanya kepada Hatim: “Engkau telah bergaul denganku beberapa lama, lalu apa yang engkau pelajari (dariku)?’
Hatim menjawab: (aku telah mempelajari) 8 perkara, diantaranya yang pertama:
Aku melihat kepada para mahluk, maka aku dapati setiap orang memiliki kekasih. Namun tatkala ia memasuki kuburannya ia berpisah dari kekasihnya. Disaat itu aku menjadikan kebaikan-kebaikanku sebagai kekasihku agar kekasihku tetap bersamaku di dalam kubur…dst.
Kemudian termasuk sifat ulama akhirat:
Mereka menjauhi penguasa dan menjaga diri mereka.
Hudzaifah bin Yaman menasehatkan: “Hindari oleh kalian tempat-tempat fitnah.” Beliau ditanya:”Apa itu tempat-tempat fitnah.”Beliau menjawab:’(tempat-tempat fitnah) adalah pintu-pintu para penguasa. Salah seorang diantara kalian masuk menemui seorang penguasa, lantas dia akan membenarkan penguasa itu dengan dusta dan menyatakan sesuatu yang tidak ada padanya.”
Said bin Musayyib menegaskan:”Jika kamu melihat seorang alim bergaul dengan penguasa, maka hati-hatilah darinya karena sesungguhnya dia adalah pencuri.”
Sebagian Salaf menjelaskan:”Sesungguhnya tidaklah kamu mendapatkan sesuatu kehidupan dunia (dari para penguasa) melainkan mereka telah memperoleh dari agamamu sesuatu yang lebih berharga darinya.”
Mereka tidak terburu-buru dalam berfatwa (sehingga mereka tidak berfatwa kecuali setelah menyakini kebenarannya).
Adalah para Salaf saling menolak untuk berfatwa sampai pertanyaan kembali lagi kepada orang yang pertama (di tanya).
Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan kisahnya: “Aku pernah mendapati di masjid (nabi) ini 120 orang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka saat ditanya tentang suatu hadits atau fatwa melainkan dia ingin saudaranya (dari kalangan shahabat yang lain) yang menjawabnya. Kemudian tibalah masa pengangkatan kaum-kaum yang mengaku berilmu saat ini. Mereka bersegera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kalau seandainya pertanyaan ini dihadapkan kepada Umar bin Khattab, niscaya beliau mengumpulkan ahli Badar untuk di ajak bermusyawarah dalam menjawabnya.”
Ulama akhirat mayoritas pembahasan mereka adalah ilmu yang berkaitan dengan amal dan perkara-perkara yang dapat merusakannya, mengotori hati dan membangkitkan was-was. Hal ini disebabkan karena membentuk amalan-amalan sangat mudah sedangkan membersihkan amat sulit. Kaidah dasarnya adalah: “Menjaga diri dari kejelekan tidak akan bisa terjadi hingga ia mengetahui tentang kejelekan.”
Ulama akhirat selalu membahas atau mencari rahasia amalan-amalan yang di syariatkan dan memperhatikan hikmah-hikmahnya. Jika mereka tidak mampu menyibak tabir rahasianya, mereka tetap bersikap pasrah dan menerima syariat Allah.
Termasuk sifat Ulama Akhirat adalah mengikuti para shahabat dan orang-orang pilihan dari kalangan tabi’in selanjutnya mereka menjaga diri dari setiap perkara baru dalam agama(bid’ah).
(disadur dari Minhajul Qashidin karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 23-26, Maktabah Dar bayan Muassah ‘Ulumul Qur’an)
PUJIAN ALLAH TERHADAP ULAMA
Setelah kita mengetahui peranan penting para ulama dalam melanggengkan keberlangsungan dakwah Islam, rasanya sangatlah tepat Allah memuji mereka dalam banyak ayat Al-Qur’an. Diantaranya Allah berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil saja (diantara kamu).”(An-Nisa:83)
Imam Al-Hasan Al-Basri dan Al-Qatadah menafsirkan:”Ulil amri dalam ayat ini adalah ahlul ilmi dan fiqh.”(Tafsir Thabari jilid 3 juz 5 hal.177 cet. Dar.Kutub Ilmiyyah)
Allah juga berfirman:
“Allah memberikan kesaksian bahwasanya tidak ada ilah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga memberikan kesaksian demikian). Tidak ada ilah melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Ali Imran:18)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: “…ini kedudukan yang mengandung keistimewaan agung bagi para ulama….”(Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hal.360, cet.Dar.Ma’rifah)
Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah menggandengkan antara persaksian orang-orang berilmu dengan persaksian Allah sendiri dan malaikat-Nya. Hal ini menunjukan keutamaan yang agung bagi para ulama.”(Sallus Suyuf hal.63)
Allah berfirman:
“Katakan: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”(Az-Zumar:9)
Imam Al-Qurthubi mengomentari ayat ini dengan menyatakan: “Orang yang berilmu adalah orang yang bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak mengamalkannya, maka ia bukan seorang yang berilmu…..”(Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15 hal. 156, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
Tentunya pertanyaan Allah disini adalah pertanyaan “pengingkaran”. Yang jelas jawabannya adalah: “Tidak sama.” Maka dari pemahaman ini ayat diatas menunjukkan keutamaan ulama dari yang bukan ulama.
Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qasami mempertegaskan hal ini. Beliau menyatakan:”Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah memuliakan para ulama! (Allah menjelaskan) bahwa orang yang tidak berilmu tidak sama kedudukannya dengan orang yang berilmu.”(Sallus Suyuf hal.63)
Allah berfirman:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…..”(Al-Mujadalah: 11)
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat diatas dengan menyatakan:”Maksud”(“Allah meninggikan mereka”) adalah dalam hal pahala di akhirat dan kemuliaan di dunia. Maka Allah mengangkat derajat orang yang beriman diatas orang yang beriman, dan mengangkat derajat orang yang berilmu diatas derajat orang yang tidak berilmu. Ibnu Mas’ud berkata: “Dalam ayat ini Allah memuji para ulama.”Makna ayat ini adalah Allah mengangkat (derajat) orang yang beriman dan berilmu diatas orang yang beriman namun tidak berilmu beberapa derajat dalam agama mereka jika mereka melaksanakan apa yang diperintahkan Allah…”(Tafsir Qurthubi jilid 9 juz hal. 194, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
Demikianlah beberapa ayat beserta tafsirannya yang mengandung pujian terhadap para ulama. Tentunya banyak ayat lain yang senada dengan ayat-ayat diatas. Kami membawakan sebagian saja unttuk meringkas pembahasan kita ini. Keterangan diatas sekali lagi menunjukan kepada kita bahwa para ulama adalah orang-orang yang mulia disisi Allah sehingga menjadi sebab turunnya rahmat di alam ini. Oleh karena itu semua muslimin memiliki kewajiban memuliakan para ulama pewaris nabi sebagaimana Allah telah memuliakan mereka. Barang siapa yang ingin menanam saham dalam menghancurkan dan merusak Islam, tentu ia akan menjatuhkan kehormatan dan meninggalkan para ulama.
Cinta pada para ulama adalah salah satu tanda bagi seseorang bahwa dia Ahlus Sunah. Al-Imam Abu Utsman As-Shabuni mengatakan: “salah satu tanda dari Ahlus Sunah adalah mereka (Ahlus Sunnah) cinta kepada para Imam Sunnah, para ulama sunnah dan para wali Sunnah. Disamping itu mereka benci kepada para Imam ke bid’ahan yang menyeru ke neraka dan menunjukan para pengikutnya ke tempat kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghiasi dan menyinari hati dengan cahaya cinta kepada para ulama sunah sebagai sebuah keutamaan dari Allah ‘aza wa Jalla.”(Aqidatus Salaf Ash-Habul Hadits karya Abu Utsman Ashabuni hal. 121 cetakan Maktabah Ghuraba Al-Atsariyah)
Adapun membenci para ulama merupakan salah satu tanda bagi seorang bahwa ia adalah Ahlul Bid’ah. Mengenai hal ini, Abu Utsman Ashabuni berkata:”Tanda-tanda Ahlul Bid’ah sangat jelas dan nampak pada diri mereka. Tanda mereka yang paling menonjol dan nampak jelas adalah permusuhan mereka yang keras, penghinaan dan pelecehan terhadap ulama pembawa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka menggelari para ulama dengan sebutan “orang dungu”, “bodoh”,”tekstual”dan “orang yang suka menyerupakan Allah dengan makhluk –Nya “dst… (Aqidatus Salaf hal.116)
Inilah beberapa keterangan seputar pembahasan ulama pewaris Nabi. Kita berharap pada Allah, mudah-mudahan tulisan ini bermamfaat bagi kaum muslimin dalam mengenali para ulama yang berada di tengah-tengah mereka.
Ya Allah! Jadikanlah kami para hamba-Mu yang gigih dalam membela agama-Mu dan terimalah amal-amal kami sebagai amal yang berbuah hasil ridla di sisi-Mu.Amin,ya Rabbul ‘alamin.
∞∞ ∞∞ ∞∞
Maraji’ (Daftar Pustaka):
1. Al-Hujjah fi bayanil Mahajjah, Abul qasim Al-Ashbahani, tahqiq dan dirasah Muhammad bin Rabi’ bin Hadi Umair Al-Madkhali, cetakan dar Rayah.S
2. Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cetakan Maktabah Dar Bayan.
3. Sallus Suyuf wal Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, Dar Ibnu Atsir.
4. Minhajul Qasidhim, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit Maktabah Dar Bayan & Muassah “Ulumul Qur’an.
5. Tafsir Thabari jilid 3 juz 5, Imam Thabari, penerbit Dar Kutub Ilmiyyah.
6. Tafsir Ibnu Katsir jilid1, Ibnu Katsir, penerbit Dar Ma’rifah.
7. Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15, Imam Al-Qurthubi, penerbit Dar kutub Ilmiyyah.
8. Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, Abu Utsman As-Shabuni, cetakan Maktabah Ghuraba Al-atsariyah.
Riwayat Hidup Imam Ahmad bin Hambal
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Beliau lahir di kota Baghdad pada bulan rabi'ul Awwal tahun 164 H (780 M), pada masa Khalifah Muhammad al Mahdi dari Bani abbasiyyah ke III. Nasab beliau yaitu Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hajyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahal Tsa'labah bin akabah bin Sha'ab bin Ali bin bakar bin Muhammad bin Wail bin Qasith bin Afshy bin Damy bin Jadlah bin Asad bin Rabi'ah bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Jadi beliau serumpun dengan Nabi karena yang menurunkan Nabi adalah Muzhar bin Nizar.Menurut sejarah beliau lebih dikenal dengan Ibnu Hanbal (nisbah bagi kakeknya).
Dan setelah mempunyai beberapa orang putra yang diantaranya bernama Abdullah, beliau lebih sering dipanggil Abu Abdullah. Akan tetapi, berkenaan dengan madzabnya, maka kaum muslimin lebih menyebutnya sebagai madzab Hanbali dan sama sekali tidak menisbahkannya dengan kunyah tersebut.
Sejak kecil, Imam Ahmad kendati dalam keadaan yatim dan miskin, namun berkat bimbingan ibunya yang shalihah beliau mampu menjadi manusia yang teramat cinta pada ilmu, kebaikan dan kebenaran. Dalam suasana serba kekurangan, tekad beliau dalam menuntut ilmu tidak pernah berkurang. Bahkan sekalipun beliau sudah menjadi imam, pekerjaan menuntut ilmu dan mendatangi guru-guru yang lebih alim tidak pernah berhenti. Melihat hal tersebut, ada orang bertanya, Sampai kapan engkau berhenti dari mencari ilmu, padahal engkau sekarang sudah mencapai kedudukan yang tinggi dan telah pula menjadi imam bagi kaum muslimin ? Maka beliau menjawab, Beserta tinta sampai liang lahat.
Beliau menuntut ilmu dari banyak guru yang terkenal dan ahli di bidangnya. Misalnya dari kalangan ahli hadits adalah Yahya bin Sa'id al Qathan, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, sufyan bin Uyainah dan Abu Dawud ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh adalah Waki' bin Jarah, Muhammad bin Idris asy Syafi'i dan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah ) dll. dalam ilmu hadits, beliau mampu menghafal sejuta hadits bersama sanad dan hal ikhwal perawinya.
Meskipun Imam Ahmad seorang yang kekurangan, namun beliau sangat memelihara kehormatan dirinya. Bahkan dalam keadaan tersebut, beliau senantiasa berusaha menolong dan tangannya selalu di atas. Beliau tidak pernah gusar hatinya untuk mendermakan sesuatu yang dimiliki satu-satunya pada hari itu. Disamping itu, beliau terkenal sebagai seorang yang zuhud dn wara''. Bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan serta menyibukkan diri dengan dzikir dan membaca Al Qur'an atau menghabiskn seluruh usianya untuk membersihkan agama dan mengikisnya dari kotoran-kotoran bid'ah dan pikiran-pikiran yang sesat.
Salah satu karya besar beliau adalah Al Musnad yang memuat empat puluh ribu hadits. Disamping beliau mengatakannya sebagai kumpulan hadits-hadits shahih dan layak dijadikan hujjah, karya tersebut juga mendapat pengakuan yang hebat dari para ahli hadits. Selain al Musnad karya beliau yang lain adalah : Tafsir al Qur'an, An Nasikh wa al Mansukh, Al Muqaddam wa Al Muakhar fi al Qur'an, Jawabat al Qur'an, At Tarih, Al Manasik Al Kabir, Al Manasik Ash Shaghir, Tha'atu Rasul, Al 'Ilal, Al Wara' dan Ash Shalah.
Ujian dan tantangan yang dihadapi Imam Ahmad adalah hempasan badai filsafat atau paham-paham Mu''tazilah yang sudah merasuk di kalangan penguasa, tepatnya di masa al Makmun dengan idenya atas kemakhlukan al Qur'an. Sekalipun Imam Ahmad sadar akan bahaya yang segera menimpanya, namun beliau tetap gigih mempertahankan pendirian dan mematahkan hujjah kaum Mu'tazilah serta mengingatkan akan bahaya filsafat terhadap kemurnian agama. Beliau berkata tegas pada sultan bahwa al Qur'an bukanlah makhluk, sehingga beliau diseret ke penjara. Beliau berada di penjara selama tiga periode kekhlifahan yaitu al Makmun, al Mu'tashim dan terakhir al Watsiq. Setelah al Watsiq tiada, diganti oleh al Mutawakkil yang arif dan bijaksana dan Imam Ahmad pun dibebaskan.
Imam Ahmad lama mendekam dalam penjara dan dikucilkan dari masyarakat, namun berkat keteguhan dan kesabarannya selain mendapat penghargaan dari sultan juga memperoleh keharuman atas namanya. Ajarannya makin banyak diikuti orang dan madzabnya tersebar di seputar Irak dan Syam. Tidak lama kemudian beliau meninggal karena rasa sakit dan luka yang dibawanya dari penjara semakin parah dan memburuk. Beliau wafat pada 12 Rabi'ul Awwal 241 H (855). Pada hari itu tidak kurang dari 130.000 Muslimin yang hendak menshalatkannya dan 10.000 orang Yahudi dan Nashrani yang masuk Islam. Menurut sejarah belum pernah terjadi jenazah dishalatkan orang sebanyak itu kecuali Ibnu Taimiyah dan Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat atas keduanya. Amin.
Dan setelah mempunyai beberapa orang putra yang diantaranya bernama Abdullah, beliau lebih sering dipanggil Abu Abdullah. Akan tetapi, berkenaan dengan madzabnya, maka kaum muslimin lebih menyebutnya sebagai madzab Hanbali dan sama sekali tidak menisbahkannya dengan kunyah tersebut.
Sejak kecil, Imam Ahmad kendati dalam keadaan yatim dan miskin, namun berkat bimbingan ibunya yang shalihah beliau mampu menjadi manusia yang teramat cinta pada ilmu, kebaikan dan kebenaran. Dalam suasana serba kekurangan, tekad beliau dalam menuntut ilmu tidak pernah berkurang. Bahkan sekalipun beliau sudah menjadi imam, pekerjaan menuntut ilmu dan mendatangi guru-guru yang lebih alim tidak pernah berhenti. Melihat hal tersebut, ada orang bertanya, Sampai kapan engkau berhenti dari mencari ilmu, padahal engkau sekarang sudah mencapai kedudukan yang tinggi dan telah pula menjadi imam bagi kaum muslimin ? Maka beliau menjawab, Beserta tinta sampai liang lahat.
Beliau menuntut ilmu dari banyak guru yang terkenal dan ahli di bidangnya. Misalnya dari kalangan ahli hadits adalah Yahya bin Sa'id al Qathan, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, sufyan bin Uyainah dan Abu Dawud ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh adalah Waki' bin Jarah, Muhammad bin Idris asy Syafi'i dan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah ) dll. dalam ilmu hadits, beliau mampu menghafal sejuta hadits bersama sanad dan hal ikhwal perawinya.
Meskipun Imam Ahmad seorang yang kekurangan, namun beliau sangat memelihara kehormatan dirinya. Bahkan dalam keadaan tersebut, beliau senantiasa berusaha menolong dan tangannya selalu di atas. Beliau tidak pernah gusar hatinya untuk mendermakan sesuatu yang dimiliki satu-satunya pada hari itu. Disamping itu, beliau terkenal sebagai seorang yang zuhud dn wara''. Bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan serta menyibukkan diri dengan dzikir dan membaca Al Qur'an atau menghabiskn seluruh usianya untuk membersihkan agama dan mengikisnya dari kotoran-kotoran bid'ah dan pikiran-pikiran yang sesat.
Salah satu karya besar beliau adalah Al Musnad yang memuat empat puluh ribu hadits. Disamping beliau mengatakannya sebagai kumpulan hadits-hadits shahih dan layak dijadikan hujjah, karya tersebut juga mendapat pengakuan yang hebat dari para ahli hadits. Selain al Musnad karya beliau yang lain adalah : Tafsir al Qur'an, An Nasikh wa al Mansukh, Al Muqaddam wa Al Muakhar fi al Qur'an, Jawabat al Qur'an, At Tarih, Al Manasik Al Kabir, Al Manasik Ash Shaghir, Tha'atu Rasul, Al 'Ilal, Al Wara' dan Ash Shalah.
Ujian dan tantangan yang dihadapi Imam Ahmad adalah hempasan badai filsafat atau paham-paham Mu''tazilah yang sudah merasuk di kalangan penguasa, tepatnya di masa al Makmun dengan idenya atas kemakhlukan al Qur'an. Sekalipun Imam Ahmad sadar akan bahaya yang segera menimpanya, namun beliau tetap gigih mempertahankan pendirian dan mematahkan hujjah kaum Mu'tazilah serta mengingatkan akan bahaya filsafat terhadap kemurnian agama. Beliau berkata tegas pada sultan bahwa al Qur'an bukanlah makhluk, sehingga beliau diseret ke penjara. Beliau berada di penjara selama tiga periode kekhlifahan yaitu al Makmun, al Mu'tashim dan terakhir al Watsiq. Setelah al Watsiq tiada, diganti oleh al Mutawakkil yang arif dan bijaksana dan Imam Ahmad pun dibebaskan.
Imam Ahmad lama mendekam dalam penjara dan dikucilkan dari masyarakat, namun berkat keteguhan dan kesabarannya selain mendapat penghargaan dari sultan juga memperoleh keharuman atas namanya. Ajarannya makin banyak diikuti orang dan madzabnya tersebar di seputar Irak dan Syam. Tidak lama kemudian beliau meninggal karena rasa sakit dan luka yang dibawanya dari penjara semakin parah dan memburuk. Beliau wafat pada 12 Rabi'ul Awwal 241 H (855). Pada hari itu tidak kurang dari 130.000 Muslimin yang hendak menshalatkannya dan 10.000 orang Yahudi dan Nashrani yang masuk Islam. Menurut sejarah belum pernah terjadi jenazah dishalatkan orang sebanyak itu kecuali Ibnu Taimiyah dan Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat atas keduanya. Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)